PT Timah Tbk (TINS) meneken perpanjangan perjanjian Kerja Sama Operasi (KSO) dengan PT Industri Nuklir Indonesia (Persero) atau Inuki. Kerja sama ini terkait revitalisasi fasilitas produksi radioisotop dan radiofarmaka yang tengah digarap Inuki.
Direktur Produksi Inaka Bunjamin Noor menyatakan, ini merupakan kontrak kerja sama kedua. Sebelumnya, kedua perusahaan telah meneken kerja sama serupa pada 2015.
Dengan perjanjian kerja sama ini, dia berharap mampu meningkatkan kualitas dan penjualan radioisotop dan radiofarmaka Inuki .
"Harapan saya tentunya Inuki akan menjadi produsen radioisotop dan radiofarmaka kelas dunia, yang didukung oleh Timah," ujar Bunjamin dalam keterangan tertulis, Senin (21/10).
(Baca: Timah Bangun Smelter Senilai Rp 1,14 Triliun di Bangka Belitung)
Radioisotop dan radiofarmaka merupakan produk yang digunakan untuk diagnosis dan penyembuhan beberapa penyakit, seperti jantung, kanker, dan ginjal.
Deputi Bidang Pertambangan, Industri, Strategis dan Media (PISM) Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Fajar Harry Sampurno menambahkan dengan kerja sama ini kedua perusahaan BUMN itu diharapkan bisa bersinergi dan memaksimalkan potensi keduanya.
"Instrumentasi nuklir, jasa rekayasa, serta aplikasi teknik nuklir berpotesi dapat menggunakan bahan milik Timah," kata Fajar.
Selain meningkatkan produksi radioisotop dan radiofarmaka, untuk menggenjot bisnis, PT Timah juga berencana membangun fasilitas oksidasi untuk mendukung produksi mineral tanah jarang (rare earth). Untuk merealisasikan rencana tersebut, perseroan telah menganggarkan investasi senilai Rp 200 miliar.
PT Timah menggandeng Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) untuk mengkaji keekonomian proyek. Sebab, meski manfaat logam tanah jarang ini besar, secara persentase keberadaannya sangat kecil.
(Baca: Harga Komoditas Tertekan, PT Timah Pangkas Produksi dan Tahan Ekspor)
Adapun tanah jarang ini merupakan bahan yang diperlukan dalam pembuatan mesin jet, peralatan militer, satelit sistem pengarah misil, hingga laser. Namun, fasilitas oksidasi diperlukan untuk mendukung hasil penambangan tanah jarang.
Saat ini, perseroan masih berupaya menyelesaikan proses feasibility study (FS) untuk mineral tanah jarang, sambil menyiapkan rencana penambangan. Harapannya, ketika penambangan sudah mulai berjalan, fasilitas oksidasi sudah lebih dulu dibangun sehingga siap digunakan.
"Produksi fasilitas oksidasinya, kalau sudah mulai menambang, baru produksi," kata Sekretaris Perusahaan Timah Abdullah Umar di Jakarta, Rabu (4/9).