Sepanjang 2019 IHSG Anjlok 2,15%, Akhir Tahun Bisa Naik ke 6.400-6.750

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
IHSG akhir pekan, Jumat (4/10), berhasil berbalik naik (rebound) setelah lima hari perdagangan secara berturut-turut terkoreksi. IHSG ditutup naik 0,38% ke level 6.061,25. Namun IHSG sepanjang tahun ini atau year to date (ytd) sudah terkoreksi 2,15%.
Penulis: Ihya Ulum Aldin
4/10/2019, 17.15 WIB

Indeks harga saham gabungan (IHSG) sepanjang 2019 berjalan (year to date/ytd) bergerak turun. Tercatat, hingga penutupan perdagangan hari ini, Jumat (4/10), IHSG sudah turun 2,15% dari posisi penutupan 2018 di level 6.194,49 menjadi ditutup di level 6.061,25.

Meski secara ytd, IHSG bergerak terkoreksi, namun beberapa analis percaya jika IHSG pada triwulan keempat tahun ini bakal kembali naik. Seperti Analis Senior PT PNM Investment Management, Usman Hidayat yang memperkirakan IHSG di akhir tahun ini bisa ditutup pada level 6.400.

"Tiga bulan terkahir ini kami optimistis indeks akan bergerak naik," kata Usman ketika ditemui di kantornya, Jakarta, Jumat (4/10). Dengan prediksinya tersebut, berarti IHSG bakal ditutup menguat 3,3% dibandingkan dengan penutupan IHSG pada akhir 2018.

Menurutnya, salah satu faktor yang bisa menopang kenaikan indeks dalam negeri ini adalah aktivitas investor untuk melakukan window dressing. Meski Usman mengakui, pola pergerakan IHSG di akhir tahun yang menanjak karena window dressing tidak pasti terjadi, tetapi memiliki peluang untuk terjadi.

(Baca: Pasar Saham Volatil, Aliran Modal Asing ke RI Tahun Ini Capai Rp 193 T)

"Biasanya window dressing dimafaatkan oleh investor, di mana saham berkapitalisasi besar akan mendorong kenaikan indeks. Memang tidak selalu, tapi secara historis berpeluang cukup besar terjadi," kata Usman.

Direktur Riset dan Investasi Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus pun juga cukup optimis dengan laju IHSG hingga akhir tahun ini mampu kembali naik. Hingga akhir tahun, pihaknya memperkirakan IHSG bisa menyentuh level 6.550 dengan target optimis berada di level 6.750.

"Setidaknya, masih ada potensi kenaikkan, apa lagi di akhir tahun," kata Nico ketika dihubungi Katadata.co.id pada Kamis (3/10).

Saham-Saham yang Terkoreksi Sepanjang 2019

Sejalan dengan terkoreksinya IHSG, beberapa laju saham perusahaan tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) juga meluncur turun. Perusahaan dengan koreksi paling besar sepanjang tahun ini adalah Marga Abhinaya Abadi Tbk (MABA) di mana sahamnya turun 77,27% dari Rp 220 pada akhir 2018 menjadi Rp 50 per saham, batas paling bawah harga saham.

(Baca: Investor Asing Jual Saham, Alihkan Investasi ke Surat Berharga Negara)

Selanjutnya, saham Bukit Asam Tbk (PTBA) berada di posisi kedua dengan terkoreksi ytd sebesar 48,84%, dari Rp 4.300 menjadi Rp 2.200 per saham pada penutupan perdagangan hari ini. Terkoreksinya PTBA ini sejalan dengan harga batu bara yang sepanjang tahun ini juga dalam tren penurunan.

Harga Batu Bara Berjangka ICE Newcastle tercatat ditutup pada harga US$ 101,4 per ton pada 31 Desember 2018 lalu. Sementara, pada perdagangan 2 Oktober 2019 lalu, harga batu bara berjangka tersebut berada di harga US$ 68,55 per ton.

Harga batu bara yang tengah berada dalam tren negatif tersebut, juga ber[engaruh pada harga saham Trada Alam Minera Tbk (TRAM), yang sepanjang tahun ini terkoreksi 45,88% dari Rp 170 menjadi Rp 92 per saham pada penutupan hari ini.

Di posisi ketiga ada produsen rokok H.M. Sampoerna Tbk (HMSP) yang sepanjang tahun ini terkoreksi sebesar 42,05% dari Rp 3.710 menjadi berada di harga Rp 2.150 per saham.

(Baca: IHSG Sempat Sentuh Level 5.000, BEI Sebut Karena Demonstrasi)

Terkoreksinya saham HMSP juga diikuti oleh perusahaan rokok kompetitornya yaitu Gudang Garam Tbk (GGRM). Saham perusahaan yang bermarkas di Kediri, Jawa Timur ini sepanjang tahun berjalan sudah terkoreksi sebesar 40,81% menjadi berada di level Rp 49.500 dari level Rp 83.625 per saham.

Kekompakan laju penurunan saham kedua emiten rokok ini terjadi paling parah pada perdagangan 16 September 2019 lalu. Saham HMSP pada hari itu ditutup terkoreksi 18.21% menjadi berada di harga Rp 2.290 per saham. Sementara, saham GGRM pada hari yang sama turun hingga 20,64% menjadi berada di harga Rp 54.600 per saham.

Penurunan tersebut sejalan dengan langkah pemerintah untuk menaikkan cukai hasil tembakau menjadi rata-rata 23% dan harga jual eceran sebesar 35% mulai 1 Januari 2020. Keputusan tersebut diumumkan pada Jumat (13/9) sore hari usai perdagangan pasar modal ditutup.

(Baca: Harga Saham Bank BUMN Rontok Akibat Melambatnya Kredit pada Agustus)

Reporter: Ihya Ulum Aldin