Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) mengantongi mandat untuk memeringkat surat utang korporasi yang belum direalisasikan hingga akhir 2019. Total nilai surat utang yang diterbitkan sepanjang tahun ini diperkirakan sekitar Rp 120 triliun hingga Rp 130 triliun atau hampir setara dengan realisasi tahun lalu sebesar Rp 132 triliun.
"Mungkin (realisasi penerbitan surat utang korporasi) di 2019 mendekati Rp 130 triliun. Seharusnya tidak jauh berbeda dengan total penerbitan surat utang di 2018," kata Kepala Divisi Pemeringkatan Jasa Keuangan Pefindo Hendro Utomo ketika ditemui di kantornya, Jakarta, Kamis (15/8).
Dari sektornya, Hendro mengungkapkan, sektor yang berencana untuk menerbitkan surat utang korporasi dengan nilai terbesar adalah perbankan dengan total emisi Rp 15,9 triliun. Setelah perbankan yakni perusahaan-perusahaan pembiayaan sebesar Rp 14,37 triliun.
Sementara berdasarkan jenis surat utang, penerbitan mandat yang dikantongi Pefindo berasal dari Penawaran Umum Berkelanjutan (PUB) Baru dengan total nilai emisi Rp 13 triliun. Diikuti oleh rencana realisasi PUB senilai Rp 8,82 triliun dan sukuk senilai Rp 7,5 triliun.
(Baca: Agung Podomoro Terancam Gagal Bayar Utang, Pefindo Turunkan Peringkat)
Pada kesempatan yang sama, Ekonom Pefindo Fikri C. Permana mengatakan, realisasi penerbitan surat utang korporasi sejak awal tahun ini hingga Juli 2019 mencapai Rp 79,9 triliun. Realisasi tersebut lebih rendah jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 92 triliun. "Ada penurunan sekitar Rp 12 triliun karena menurut kami, situasinya berbeda," katanya.
Seperti yang Fikri contohkan, pada semester I 2018 lalu, tingkat imbal hasil (yield) Surat Utang Negara (SUN) 10 tahun masih di angka 6% hingga 7%. Tapi di semester I 2019 yield-nya mencapai 7,5% hingga 8,5%. "Pasti menjadi hambatan utama penerbitan di tahun ini," kata Fikri menambahkan.
Selain itu, kondisi politik dalam negeri di paruh pertama tahun ini lebih berisiko dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Kondisi tersebut berkaitan dengan diselenggarakannya pemilu Presiden yang membuat korporasi menahan penerbitan surat utang korporasinya.
Meski begitu, dia menilai di semester II 2019 kondisi lebih baik bagi korporasi untuk menerbitkan instrumen surat utang karena ada beberapa sentimen. Seperti peluang Bank Indonesia (BI) untuk menurunkan suku bunga acuannya, BI 7 Day Reverse Repo Rate yang saat ini berada di level 5,75% dan penurunan yield SUN 10 tahun.
(Baca: Pemeringkat Asing, Standard & Poor's Incar 15% Saham Pefindo)
"Kami harapkan yield Indonesia dalam waktu cepat akan menurun. Mendorong penerbitan surat utang korporasi," kata Fikri. Dia memperkirakan pada enam bulan kedua tahun ini, yield SUN 10 tahun terjaga di level 7,1% hingga 7,3%. "Makanya kami masih berasumsi bahwa penerbitan korporasi tahun ini masih akan sama dengan tahun 2018," tambahnya.
Meski begitu, pada paruh kedua ini juga masih terdapat risiko yang dapat membuat korporasi menunda rencana penerbitan surat utangnya, yaitu ekskalasi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. Padahal pada paruh pertama tahun ini, tensi perang dagang sedikit menurun.
Fikri menjelaskan, sentimen perang dagang dapat meningkatkan risiko premium di pasar surat utang global dan akhirnya berimbas ke Indonesia. "Bahkan terhadap nilai tukar rupiah terhadap valuta asing," kata Fikri.
Seperti saat Presiden AS Donald Trump berencana untuk mengenakan tarif 10% kepada barang impor dari Tiongkok, mambuat rupiah melemah menjadi Rp 14.300 per doalr AS dan yield SUN 10 tahun naik dari 7,1% menjadi 7,6%. "Hal-hal itu juga sulit dikuantifikasi. Karena memang ada hal-hal kualititatif yang sama sekali sulit diprediksi," ujarnya.
(Baca: S&P Memantau Pasar Obligasi Indonesia Tetap Dipilih Investor Asing)