Perekonomian Amerika Serikat (AS) kembali menebar sinyal resesi yang ditandai dengan inverted yield curve surat utang jangka panjang pemerintah AS. Akibatnya, Wall Street anjlok hingga 3% pada penutupan perdagangan Rabu (14/8) yang kemudian menjalar ke bursa Asia pagi ini, Kamis (15/8).
Fenomena inverted yield curve yaitu ketika imbal hasil (yield) surat utang jangka panjang pemerintah AS turun menjadi lebih rendah dari yield surat utang jangka pendek. Fenomena ini menjadi salah satu tanda awal terjadinya resesi di AS.
Pada perdagangan Rabu kemarin, yield surat utang pemerintah AS bertenor 10 tahun turun hingga menjadi lebih rendah dari yield surat utang bertenor 2 tahun. Sementara itu, surat utang bertenor 30 tahun turun menjadi 1,991% atau lebih rendah dari suku bunga kebijakan the Fed sebesar 2%.
Alhasil Dow Jones ditutup dengan mencatatkan penurunan harian terbesarnya sejak Oktober 2018 lalu, turun 800,49 poin atau 3,05%. Sementara itu Nasdaq tercatat turun 242,42 poin atau 3,02%, dan S&P 500 turun 85,72 poin atau 2,93%.
(Baca: Singapura Terancam Resesi Ekonomi Akibat Perang Dagang)
Kekhawatiran resesi di negara dengan produk domestik bruto (PDB) terbesar di dunia ini menular ke bursa Asia. Pagi ini hampir seluruh bursa utama di Asia bergerak lebih rendah. Indeks Strait Times saat berita ini ditulis turun 1,49%, Shanghai turun 0,62%, sedangkan Nikkei anjlok 1,62%.
Indeks Hang Seng pagi ini sempat bergerak di zona hijau. Namun saat ini indeks negara Hong Kong tersebut telah masuk ke zona merah dengan koreksi sebesar 0,10%. Hong Kong sendiri baru mulai kondusif pasca aksi demonstrasi menolak rancangan undang-undang (RUU) ekstradisi yang sempat membuat bandara internasional negara tersebut lumpuh karena diduduki demonstran.
Dari dalam negeri, indeks harga saham gabungan (IHSG) mengakhiri perdagangan sesi I turun 1,09%% ke level 6.199,22. Bahkan IHSG sempat menyentuh level 6.192,46 atau turun 1,19% tak lama setelah perdagangan dibuka pagi ini.
(Baca: AS Tunda Tarif Baru Untuk Tiongkok, Bursa Asia Menghijau)
Ketidakpastian Perang Dagang AS-Tiongkok
Bursa Asia pun bergerak bak roller coaster yang terutama dipengaruhi oleh perkembangan perang dagang AS-Tiongkok yang berkepanjangan dan melukai perekonomian global. Perundingan dagang AS-Tiongkok pun berkembang penuh dengan ketidakpastian.
Sebelumnya bursa saham Asia dan global sempat anjlok ketika Presiden AS Donald Trump menyatakan akan mengenakan tarif sebesar 10% terhadap sisa impor Tiongkok ke AS yang selama ini belum tersentuh tarif senilai US$ 300 miliar. Tarif tersebut akan mulai berlaku 1 September 2019 mendatang.
"AS, mulai tanggal 1 September, akan menerapkan tarif tambahan sebesar 10% kepada barang dan produk senilai US$ 300 miliar yang diimpor dari China (Tiongkok)," ujar Trump di akun Twitternya, Jumat (2/8).
Dia menambahkan tarif tersebut belum termasuk barang dan produk asal Tiongkok senilai US$ 250 miliar yang sebelumnya telah terkena tarif sebesar 25%.
(Baca: Perang Dagang Mereda Sesaat, Trump Tunda Kenakan Tarif Impor Ponsel dan Mainan Tiongkok)
Keputusan Trump tersebut lantaran Tiongkok belum memenuhi janjinya untuk membeli lebih banyak produk pertanian AS dan menghentikan penjualan fentanyl, obat opioid pereda nyeri, yang dinilai Trump telah menyebabkan kecanduan di AS sehingga banyak warga AS yang meninggal karenanya.
Setelah Trump mengumumkan kenaikan tarif tersebut, pada Senin (4/8) nilai tukar mata uang Tiongkok, yuan, turun ke level terendahnya dalam 11 tahun terakhir menjadi 7 yuan per dolar AS. Turunnya nilai yuan ini memberikan Tiongkok keunggulan terhadap AS dalam ekspor impor, karena harga produk Tiongkok menjadi lebih murah dalam dolar.
Trump pun menuduh Tiongkok telah memanipulasi yuan untuk membalas tarif impor AS yang diumumkannya pada Jumat sebelumnya. Walaupun International Monetary Fund (IMF) tidak mendukung klaim AS tersebut dan menilai penurunan yuan sejalan dengan fundamental ekonomi Tiongkok.
Namun kemarin bursa Asia kembali menghijau karena Trump memutuskan untuk menunda penerapan tarif dari tanggal 1 September menjadi 15 Desember 2019. Keputusan tersebut dibuat karena Trump tidak ingin penerapan tarif berdampak terhadap daya beli masyarakat AS yang akan menghadapi libur Natal.
(Baca: Ekonomi 2020 dan Bayang-bayang Resesi Akibat Perang Dagang)
“Kami melakukan ini untuk musim Natal, kalau-kalau kenaikan tarif ini akan berdampak pada pelanggan AS. Kami menunda kenaikan tarif sehingga tidak mengganggu musim belanja Natal," kata Trump, Selasa (13/8) seperti dilansir dari Reuters.
Analis global dari J.P. Morgan Asset Management Kerry Craig mengatakan bahwa inverted yield curve merupakan tanda peringatan bagi investor. "Investor harus memeriksa apakah portofolio investasi mereka kuat. Tapi itu bukan alasan untuk panik atau melakukan aksi jual," ujarnya, Kamis (15/8).
Rilis data ekonomi Tiongkok periode Juli 2019 pun menunjukkan perkembangan yang mengecewakan. Tercatat output sektor industri hanya tumbuh 4,8% secara tahunan. Capaian ini lebih rendah dari prediksi pasar dalam jajak pendapat Reuters.
(Baca: Goldman Sachs: Kekhawatiran Perang Dagang Berujung Resesi Meningkat)
Dengan perkembangan tersebut, IHSG pun diperkirakan akan turun pada perdagangan hari ini. Apalagi Badan Pusat Statistik baru saja mengumumkan bahwa neraca perdagangan Indonesia Juli 2019 mencatatkan defisit sebesar US$ 60 juta.
“IHSG diperkirakan dibayangi sentimen dari dalam negeri berupa data neraca perdagangan Juli yang diperkirakan defisit. Selain itu, anjloknya saham AS pada Rabu yang mengakumulasi sentimen negatif bagi pasar, dan dapat menjadi pernyebab terkoreksinya IHSG pada hari ini,” kata analis Valbury Sekuritas, Alfiansyah, dalam risetnya hari ini.