Kisruh terkait perubahan Direktur Utama dan Komisaris PT Kawasan Industri Jababeka Tbk (KIJA) kembali bergulir dengan adanya gugatan dari beberapa pemegang saham atas Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) yang diadakan pada 26 Juni 2019 tersebut.
Para penggugat menilai agenda kelima RUPST terkait pergantian pengurus perusahaan dibuat secara melawan hukum. Berdasarkan keterbukaan informasi perusahaan di laman Bursa Efek Indonesia (BEI), Senin (22/7), ada tujuh pemegang saham yang menggugat keputusan RUPST. Mereka secara total menguasai 4,92% saham KIJA.
Ketujuh pemegang saham KIJA tersebut yaitu Lanny Arifin yang menguasai 0,14% saham, Handi Kurniawan (0,34%), Yanti Kurniawan (0,34%), Wiwin Kurniawan (0,28%), Christine Dewi (1,23%), Richard Budi Gunawan (1,04%), dan PT Multidana Venturindo Kapitanusa (1,55%).
Sekretaris Perusahaan, yang sebelumnya menjabat sebagai Direktur Utama Jababeka, Budianto Liman menjelaskan, pada Jumat 19 Juli 2019 Perseroan menerima surat dari tujuh orang pemegang saham yang diwakili oleh kuasa hukum mereka, Kantor Hukum Julius Rizaldi & Partners.
(Baca: Berisiko Gagal Bayar Utang, Bursa Telusuri Perubahan Pengurus Jababeka)
Ketujuh pemegang saham tersebut disebutkan telah mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang terdaftar dengan Nomor Regristrasi Perkara 413/PDT.G/2019/PN.Jkt.Pst. Hal itu sehubungan dengan keputusan Agenda kelima RUPST Jababeka yang telah dibuat secara melawan hukum.
Dengan didaftarkannya gugatan tersebut, maka keputusan Agenda Kelima RUPST Jababeka tersebut belum berlaku secara efektif. "Sampai dengan adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap," seperti dikutip dari surat keterbukaan informasi tersebut.
Risiko Gagal Bayar Utang Gara-gara Ganti Kepengurusan
Seperti diketahui, perubahan susunan direksi dan komisaris merupakan usulan dari PT Imakotama Investindo dan Islamic Development Bank. Keduanya adalah pemegang saham perusahaan dengan porsi kepemilikan saham masing-masing 6,38% dan 10,84%. Perubahan yang terjadi pada RUPST lalu yaitu pengangkatan Sugiharto sebagai direktur utama dan Aries Liman sebagai komisaris.
Tidak hanya ketujuh pemegang saham tersebut saja yang tidak setuju, sebelumnya beberapa kontraktor Jababeka juga menyatakan ketidak setujuannya terhadap perubahan kepengurusan Jababeka. Pihak-pihak yang menyatakan kettidak setujuannya yaitu PT Bhineka Cipta Karya, PT Praja Vita Mulia, dan PT Grha Kreasindo Utama.
(Baca: Ditolak Tiga Mitra Kontraktornya, Jababeka Batal Ganti Direksi)
"Karena itu, pengangkatan jabataban/posisi direksi dan anggota dewan komisaris yang baru tidak berlaku efektif apabila tidak terdapat persetujuan dari pihak ketika, termasuk kreditur perseroan," tulis surat yang ditandatangi Tedjo Budianto Liman.
Perubahan direksi ini, berisiko membuat KIJA gagal memenuhi kewajiban (default) atas surat utang (notes) senilai US$ 300 juta yang diterbitkan pada 2016 dan 2017. Manajemen KIJA menyampaikan risiko default tersebut dalam keterbukaan informasi yang diunggah di situs Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Minggu (7/7).
Dalam notes yang dikeluarkan anak usaha KIJA, Jababeka International B.V, terdapat syarat dan kondisi yaitu, bila terjadi perubahan pengendalian maka perusahaan berkewajiban untuk memberikan penawaran pembelian kembali (buyback) kepada para pemegang notes.
Harga pembeliannya ditentukan sebesar 101% dari nilai pokok notes yang sebesar US$ 300 juta ditambah kewajiban bunga. Bila perusahaan tidak mampu melaksanakan penawaran pembelian, maka Jababeka International B.V. akan berada dalam keadaan lalai atau default.
"Kondisi lalai atau default tersebut mengakibatkan perseroan atau anak-anak perusahaan lainnya menjadi dalam keadaan lalai atau default pula terhadap masing-masing kreditur mereka lainnya," demikian tertulis dalam materi keterbukaan informasi.
(Baca: Jababeka Terancam Gagal Bayar Utang Di Tengah Kinerja Keuangan Positif)