Indeks harga saham gabungan (IHSG) hari ini, Rabu (26/6), mengakhiri perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan koreksi sebesar 9,96 poin atau 0,16% ke posisi 6.310,49.
Mengawali perdagangan dari zona hijau, IHSG relatif nyaman bergerak di teritori positif sepanjang sesi I hingga memasuki sesi II, walaupun pada sesi I IHSG sempat mampir ke zona merah. Namun pada pukul 14.30 IHSG mulai bergerak ke teritori negatif hingga berakhir dengan koreksi.
Total perdagangan saham di BEI sepanjang hari ini menurut data dari RTI Infokom mencapai Rp 8,55 triliun dari 15,25 miliar saham yang diperdagangkan oleh investor. Sebanyak 225 saham berakhir di zona merah, 181 saham berakhir di zona hijau, dan 127 saham berakhir stagnan.
Beberapa saham yang paling signifikan menekan laju IHSG hari ini ini di antaranya PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) yang turun 0,76%, PT Astra International Tbk. (ASII) turun 1,36%, PT Unilever Indonesia Tbk. (UNVR) turun 0,88%, serta PT Bank Negara Indonesia Tbk. (BBNI) turun 0,84%.
(Baca: Kondisi Pasar Penuh Tantangan, Laba Bersih BEI di 2018 Turun 17,5%)
Sementara itu di sisi lain, dana asing mengalir masuk ke pasar modal sebesar Rp 400,49 miliar. Investor asing membukukan pembelian bersih saham di pasar reguler sebesar Rp 269,36 miliar dan Rp 131,14 miliar di pasar negosiasi/tunai.
Ada dua saham yang menjadi buruan investor asing dengan pembelian bersih terbesar hari ini. Dua saham tersebut yaitu saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. (BBRI) sebesar Rp 208,4 miliar, dan saham BBCA Rp 126,1 miliar.
Sejalan dengan IHSG, bursa saham di kawasan Asia mayoritas berakhir di zona merah. Indeks Strait Times terkoreksi 0,09%, Shanghai turun 0,19%, serta Nikkei turun 0,51%. Selain itu PSEi turun 0,26% dan KLCI Malaysia turun 0,13%. Hanya Hang Seng dan Kospi yang berakhir positif, masing-masing naik 0,13% dan 0,01%.
Ketidakpastian Seputar Perundingan Dagang AS-Tiongkok Tekan Bursa Asia
Kinerja bursa saham benua kuning dipengaruhi ketidakpastian perundingan dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. Dilansir dari Reuters, kedua belah pihak dapat berkomitmen untuk tidak mengenakan tarif impor baru sebagai itikad baik sebelum perundingan dagang dimulai.
(Baca: Sengitnya Perang Dagang AS vs Tiongkok)
Pihak AS bersedia menunda kenaikan tarif terhadap impor Tiongkok ke AS sebesar US$ 325 miliar jika Tiongkok menjalankan kembali kesepakatan dagang yang telah tercapai sebelumnya.
Namun, Tiongkok tidak pada posisi melakukan hal tersebut dan menghendaki kompromi dari kedua belah pihak agar kesepakatan dagang yang tercapai dapat menguntungkan baik bagi Tiongkok maupun AS.
Perwakilan Presiden AS Donald Trump sendiri menyatakan bahwa mereka tidak memiliki ekspektasi kesepakatan akan terjadi. Setelah pembicaraan dagang dimulai kembali, proses negosiasi diprediksi bisa berlangsung bulanan atau bahkan tahunan.
Jika Trump menilai perundingan dagang tidak menunjukkan perkembangan positif dan menerapkan kenaikan tarif baru, hubungan antara AS dan Tiongkok akan semakin memburuk. Dampaknya pun akan dirasakan pasar keuangan dan semakin menekan pertumbuhan ekonomi dunia.
(Baca: BEI: Kontrak Garuda dengan Mahata Tidak Merinci Waktu Pembayaran)
Sementara itu bank sentral AS, The Fed, menolak pemangkasan bunga acuan secara signifikan, yakni sebesar 50 basis seperti yang diharapkan pasar dan Presiden AS Donald Trump. Sikap Fed ini turut menekan bursa saham di benua kuning, termasuk IHSG yang juga tengah mengantisipasi hasil sidang Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa hasil Pilpres 2019.
Gubernur Fed Jerome Powell mengatakan bahwa Fed tidak akan dipengaruhi tekanan politis. "Kami saat ini sedang mempertimbangkan apakah ketidakpastian seputar tarif AS, konflik AS dengan mitra dagangnya dan inflasi yang rendah membutuhkan penurunan suku bunga," kata Powell.