S&P Memantau Pasar Obligasi Indonesia Tetap Dipilih Investor Asing

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Pasar obligasi Indonesia masih menjadi destinasi investasi yang menarik bagi investor asing.
Penulis: Hari Widowati
17/5/2019, 06.52 WIB

Lembaga pemeringkat Standard and Poor's (S&P) menilai pasar obligasi Indonesia tetap menjadi destinasi investasi pilihan bagi para pengelola investasi global. Pemilihan umum (Pemilu) yang berlangsung aman dan kebijakan ekonomi yang proaktif menjadi sentimen positif bagi pasar obligasi.

Director Sovereign & International Public Finance Ratings, S&P Global Ratings, Kim Eng Tan mengatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir lebih baik dibandingkan rata-rata pertumbuhan negara-negara di dunia. Dalam proyeksi yang dirilis November 2018, S&P memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai 5,3% tahun ini dan 5,5% pada 2020.

Tan menyebut pemerintah Indonesia maupun korporasi gencar menerbitkan surat utang dan sebagian besar diserap oleh investor asing. Menurut data Kementerian Keuangan, kepemilikan investor asing di surat berharga negara (SBN) hingga 15 Mei 2019 mencapai Rp 955,5 triliun atau 38,61%. Porsi kepemilikan investor asing di pasar obligasi pemerintah dalam mata uang lokal ini merupakan nomor tiga tertinggi di dunia setelah Jepang 46% dan Tiongkok 41%.

"Tentu saja ada sisi plus minusnya. Indonesia salah satu destinasi investasi obligasi bagi fund manager asing Indonesia, ini juga positif untuk pertumbuhan Indonesia," kata Tan dalam Indonesia in 2019: Coping With a Post-election Year, di Jakarta, Kamis (16/5).

Di sisi lain, ketergantungan terhadap sumber pendanaan dari luar negeri juga berisiko karena ada faktor-faktor eksternal yang tidak bisa dikontrol. Misalnya, jika terjadi penarikan dana asing dari pasar negara-negara berkembang, pasar obligasi akan bergejolak.

Sejauh ini, Tan melihat Indonesia memiliki kebijakan ekonomi yang stabil sehingga proaktif bagi investor asing. Untuk menjaga keyakinan investor, pemerintah harus gigih menjaga pertumbuhan ekonomi agar sesuai target yang dibidik. Stabilitas di sektor keuangan juga harus dipertahankan.

Tan menilai, gejolak politik yang terjadi pasca-Pemilu di Indonesia masih wajar dan tidak akan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi. "Demokrasi di Indonesia berjalan dengan baik, saya tidak khawatir dengan perkembangan saat ini," ujarnya.

(Baca: Hasil Quick Count Sesuai Harapan Pasar, Obligasi Jadi Incaran Investor)

Sektor Konsumer dan Infrastruktur Direkomendasikan bagi Investor

Sementara itu, Direktur Pefindo Vonny Widjaja mengatakan, kondisi pasar obligasi korporasi relatif stabil dibandingkan tahun lalu. "Tahun ini tidak banyak yang di-downgrade (peringkat utangnya), hanya dua perusahaan," kata Vonny. Di luar itu, ada beberapa perusahaan multifinance independen yang mendapatkan prospek negatif karena likuiditasnya mengetat.

Vonny menyebutkan, sektor yang paling stabil saat ini adalah sektor konsumer, khususnya industri makanan dan minuman. Sektor infrastruktur juga positif seiring dengan semakin banyaknya opsi pendanaan infrastruktur dari pasar modal, antara lain obligasi, sekuritisasi aset, project bonds, dan dana investasi infrastruktur (Dinfra).

Managing Director & Chief Investment Officer Indonesia Infrastructure Finance (IIF) Harold Tjiptadjaja mengatakan, ia optimistis pembangunan infrastruktur akan terus berjalan pasca-pemilu. "Siapapun yang terpilih, pembangunan infrastruktur akan berlanjut. Yang berbeda hanya soal prioritasnya," kata Harold.

Ia juga mendapatkan banyak pertanyaan dari investor asing yang ingin berinvestasi di Indonesia. Harold menilai, sektor konsumer dan sumber daya alam masih menjadi motor perekonomian. Begitu pula dengan infrastruktur yang pembangunannya pesat dalam empat tahun terakhir. Tahun ini, IIF memperkirakan bisa menyalurkan pembiayaan sebesar Rp 3 triliun-Rp 4 triliun di berbagai proyek infrastruktur. "Kami tidak terlalu agresif di tahun politik," ujarnya.

(Baca: Awal Mei, BI: Aliran Masuk Dana Asing Capai Rp 132,4 Triliun)