Dua Komisaris PT Garuda Indonesia Tbk., Chairal Tanjung dan Dony Oskaria, menyoroti pencatatan akuntansi pada laporan kinerja keuangan perusahaan tahun buku 2018. Mereka menilai pencatatan akuntansi dalam laporan keuangan tersebut tidak sesuai dengan standar pencatatan akuntansi. Alhasil, mereka menolak untuk menandatangani laporan keuangan tersebut.
Mereka menilai, seharusnya Garuda Indonesia mencatatkan rugi tahun berjalan senilai US$ 244,95 juta atau setara Rp 3,45 triliun (kurs: Rp 14.100 per dolar AS). Namun, di dalam laporan keuangan malah tercatat memiliki laba tahun berjalan senilai US$ 5,01 juta setara Rp 70,76 miliar.
Keberatan mereka didasarkan pada perjanjian kerja sama penyediaan layanan konektivitas dalam penerbangan yang ditandatangani oleh anak usaha Garuda Indonesia, yakni PT Citilink Indonesia dengan PT Mahata Aero Teknologi (Mahata). Menurut mereka pendapatan dari Mahaka yang sebesar US$ 239,94 juta tidak dapat diakui dalam tahun buku 2018.
Jumlah tersebut termasuk pendapatan dan piutang Mahata terhadap PT Sriwijaya Air sebesar US$ 28 juta ditambah PPN sebesar US$ 2,8 juta yang merupakan bagian bagi hasil Garuda Indonesia. Seperti diketahui, perjanjian pengadaan wifi antara Mahata dengan Citilink diperluas ke Grup Garuda Indonesia, di mana Sriwijaya merupakan bagian dari grup tersebut.
(Baca: Garuda Indonesia Bukukan Laba Bersih Rp 11,5 Miliar Tahun Lalu)
Laporan Keuangan Garuda Indonesia Menyesatkan
Berdasarkan dokumen yang didapatkan oleh awak media tertanggal 2 April 2019, sikap kedua komisaris tersebut didasarkan kepada tidak ada pembayaran yang telah dilakukan oleh Mahata meskipun telah terpasang satu unit alat wifi di Citilink. Bahkan dalam perjanjian dengan Mahata, tidak tercantum "term of payment" karena pada saat itu masih dinegosiasikan cara pembayarannya.
Selain itu, menurut Chairal dan Dony, sampai saat ini tidak ada jaminan pembayaran yang tidak dapat ditarik kembali (seperti Bank Garansi atau instrumen keuangan yang setara) dari pihak Mahata kepada Garuda Indonesia. Padahal jaminan pembayaran tersebut merupakan instrumen yang menunjukkan kapasitas Mahata sebagai perusahaan yang bankable. Mahata hanya memberikan Surat Pernyataan Komitmen Pembayaran Biaya Kompensasi.
Dalam Perjanjian Mahata juga terdapat pasal pengakhiran yang menyatakan Citilink dapat mengakhiri sewaktu waktu dengan alasan bisnis. Padahal menurut Penyataan Standar Akutansi Keuangan (PSAK) nomor 23, dapat diterimanya pendapatan harus diukur dengan pendapatan tetap atau jaminan yang tidak dapat dikembalikan dalam suatu kontrak yang tidak dapat dibatalkan.
Menurut mereka, dengan pengakuan pendapatan seperti itu berdampak pada laporan keuangan tahun buku 2018 yang seharusnya membukukan kerugian yang signifikan menjadi laba. Terlebih Garuda Indonesia merupakan perusahaan publik atau terbuka, ada potensi yang sangat besar atas penyajian kembali laporan keuangan tersebut yang dapat merusak kredibilitas perusahaan.
(Baca: Gandeng Airbus, Garuda Indonesia Bidik Pasar Penerbangan Regional)
Dampak lainnya menurut mereka, pengakuan pendapatan ini menimbulkan kewajiban perpajakan, baik pajak penghasilan maupun pajak pertmbahan nilai yang belum waktunya. Tentu, menurut kedua komisaris ini, hal ini dapat menimbulkan beban arus kas (cashflow) bagi perusahaan.
Laporan Tahunan Tetap Disetujui
Meski mereka tidak mau menandatangani laporan keuangan tersebut, namun dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) Garuda Indonesia yang digelar pada Rabu (24/4) di Hotel Pullman Thamrin, Jakarta, laporan keuangan tersebut diterima.
Ditemui usai RUPST, Chairal menjelaskan, saat acara berlangsung, pihaknya sebenarnya sudah meminta untuk dibacakan surat keberatan. Namun, pimpinan rapat Agus Santoso yang merupakan Komisaris Utama yang juga sebagai Komisaris Independen menilai surat tersebut tidak perlu dibacakan.
"Tadi di rapat minta untuk dibacakan. Tapi, pimpinan rapat menilai tidak perlu dibacakan karena (surat keberatan) sudah ada dalam laporan komisaris dan dilekatkan di laporan tahunan," kata Chairal.
Sehingga, laporan keuangan 2018 Garuda, tidak mengalami perubahan karena sudah diterima dan disetujui oleh RUPST dengan catatan perbedaan pendapat antara dua komisaris dengan pihak pengurus perusahaan lainnya.
(Baca: RUPST Garuda Indonesia Rombak Susunan Pengurus Komisaris dan Direksi)
Ada pun, Dony dalam RUPST tersebut diputuskan untuk diberhentikan secara terhormat dari kursi komisaris. Dony mengatakan bahwa dirinya yang sudah tidak lagi menjabat sebagai komisaris karena sudah habis masa jabatannya. "Karena sudah lima tahun, sudah habis masanya (jabatan)," ujarnya usai RUPST.
Sebagai informasi, Chairal merupakan perwakilan pemegang saham dari PT Trans Airways, sementara Dony merupakan perwakilan dari Finegold Resources Ltd. Mereka secara total memiliki 28,08% saham.
Ada pun, laporan keuangan tahun 2018 Garuda Indonesia diaudit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) Independen Tanubrata Sutanto Fahmi Bambang & Rekan (BDO). Mereka memberikan opini pada laporan keuangan tersebut dengan pendapat wajar tanpa pengecualian.