Bursa Efek Indonesia (BEI) menyatakan sudah membuka banyak pintu agar perusahaan rintisan mau melantai di pasar modal melalui skema penawaran saham perdana atau initial public offering (IPO). Walau begitu, keputusan melakukan IPO dikembalikan kepada pemegang saham masing-masing perusahaan startup. tersebut.
Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna mengatakan BEI sudah mempermudah persyaratan agar perusahaan startup dapat masuk pasar modal. BEI sudah beberapa kali bertemu perusahaan startup, termasuk yang sudah berstatus unicorn. Namun hingga kini belum ada respons positif. "Tergantung masing-masing perusahaan apakah berminat untuk segera IPO atau ingin konsolidasi dulu," kata Nyoman di Gedung BEI, Jakarta, Rabu (20/3).
Yang pasti, kata dia, bursa telah memastikan bahwa secara infrastruktur sudah memberikan ruang untuk perusahaan startup bisa mencatatkan saham di bursa. Beberapa faktor yang sebelumnya menjadi kendala sekarang sudah dibuka.
Karena itu, dia mengungkapkan bahwa tahun ini setidaknya ada tiga startup yang siap untuk IPO. Namun, Nyoman tidak mengungkapkan informasi terkait perusahaan startup yang akan IPO dan berapa target emisi sahamnya. "Kami menargetkan tiga startup binaaan BEI tercatat tahun ini," ungkap Nyoman.
(Baca: Masih Dapat Suntikan Dana Investor, Bukalapak Belum Tertarik Go Public)
Selain itu, BEI juga sudah memberika kelonggaran dengan mengubah peraturan 1-A tentang Pencatatan Saham dan Efek Bersifat Akuitas Selain Saham. Perubahan tersebut terkait valuasi saham dengan perhitungan aset nyata (tangible) menjadi tidak nyata (intangible).
Sebelumnya Nyoman mengatakan, keberhasilan sebuah perusahaan startup tidak hanya dilihat dari kinerja keuangannya saja, seperti keuntungan. Namun lebih pada potensi akselerasi ke depan dan kemungkinan pengembangan perusahaan, misalnya jumlah pihak yang bergabung. Semakin banyak pihak yang bergabung, makin banyak potensi yang bisa di-utilisasi.
Menurut aturan yang berlaku saat ini, batas minimal aktiva berwujud bersih atau net tangible assets (NTA) untuk dapat go public sebesar Rp 5 miliar, berpotensi menjadi penghalang bagi startup untuk melantai di bursa. Menurut Nyoman, banyak startup yang NTA-nya tidak sampai pada minimal persyaratan tersebut.
Tidak hanya pihak BEI saja yang berusaha untuk merangkul startup agar mau melantai di bursa. Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Rudiantara dalam beberapa kesempatan juga menggiatkan startup unicorn untuk segera IPO. Menurut Rudiantara, semestinya transparansi yang menjadi pertimbangan startup masuk pasar modal, tak menjadi kekhawatiran perusahaan startup.
(Baca: BEI Cari Cara Tingkatkan Valuasi Start Up Agar Dapat IPO)
Dia pun mengimbau agar IPO dilakukan ketika start up masih berstatus biasa dan unicorn, atau memiliki valuasi senilai US$ 1 miliar. Jika start up sudah naik kelas menjadi decacorn, atau memiliki valuasi lebih dari US$ 10 miliar, sahamnya akan sulit diserap pasar. Ia mencontohkan, unicorn yang melepas 20 % sahamnya ke pasar melalui IPO maka nilainya sekitar Rp 29 triliun. Besaran nilai saham yang bakal dijual ini masih bisa diserap investor dalam negeri.
Akan tetapi, bila sudah menjadi decacorn, pasar lokal yang belum begitu dalam, tidak akan mampu menyerap saham yang dilepas ke publik. "Pasar di Indonesia tidak sebesar New York, Amerika Serikat (AS) atau Tokyo, Jepang. Kalau sudah decacorn, nanti listingnya di global," ujar Rudiantara.