Defisit Neraca Dagang Tekan IHSG Turun 0,34% Pada Sesi I

ANTARA FOTO/M. Agung Rajasa
Beberapa siswa berfoto dengan latar pergerakan IHSG di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta.
Penulis: Happy Fajrian
15/2/2019, 14.21 WIB

Indeks harga saham gabungan (IHSG) terkoreksi sebesar 0,34% ke level 6.398,34 pada akhir sesi perdagangan saham sesi pertama Jumat (15/2). Senada dengan IHSG, mayoritas bursa Asia lainnya juga kompak mengalami koreksi.

Transaksi saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) sepanjang sesi I tercatat mencapai Rp 4,17 triliun dari 7,64 miliar saham yang ditransaksikan sebanyak 229.401 kali oleh investor. Sebanyak 231 saham terkoreksi pada siang ini, sedangkan 134 saham berhasil mencatatkan kinerja positif, dan 124 saham lainnya bergerak mendatar.

Secara sektoral, koreksi IHSG siang ini didorong oleh delapan sektor yang kinerjanya memerah. Hanya sektor aneka industri dan infrastruktur yang mengalami kenaikan, masing-masing 0,21% dan 0,54%. Sedangkan sektor lainnya, sektor industri dasar memimpin dengan koreksi mencapai 0,93%, diikuti tambang yang turun 0,9%, properti turun 0,8%, pertanian turun 0,51%, manufaktur turun 0,38%, keuangan turun 0,36%, konsumer turun 0,29%, serta trade turun 0,5%.

Sementara itu investor asing terus melepas sahamnya di pasar modal Indonesia. Penjualan bersih investor asing sepanjang sesi I siang ini sebesar Rp 65,72 miliar di pasar reguler. Saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) menjadi saham yang paling banyak dijual investor asing yaitu Rp 40,5 miliar.

(Baca: Banyak Tekanan Domestik dan Global, IHSG Turun di Bawah Level 6.400)

Beberapa saham yang paling besar pengaruhnya dalam menekan kinerja IHSG di antaranya PT Indosat Tbk (ISAT) yang turun 1,87%, PT United Tractors Indonesia Tbk (UNTR) turun 1,86%, PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) turun 1,58%, dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) turun 1,32%.

Perkembangan defisit neraca perdagangan Indonesia yang melebar pada periode Januari 2019 dibandingkan dengan periode Desember 2018 menjadi sentimen yang menekan kinerja IHSG.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Januari 2019, neraca perdagangan Indonesia defisit US$ 1,16 miliar, melebar dari realisasi defisit perdagangan periode Desember 2018 sebesar US$ 1,03 miliar. Angka tersebut juga lebih besar dibanding defisit neraca perdagangan Januari 2018 yang tercatat sebesar US$ 760 juta.

Sementara itu dari sentimen eksternal, perundingan dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok dikabarkan tidak berjalan dengan lancar. Bloomberg memberitakan bahwa perundingan tersebut tidak berjalan baik karena AS dan Tiongkok gagal menjembatani perbedaan tuntutan Presiden AS Donald Trump terkait reformasi struktural ekonomi Tiongkok.

(Baca: BNP Paribas Proyeksi Bursa Saham Indonesia Bullish, IHSG Capai 6.900)

Sebelumnya, Trump dikabarkan bersedia menunda tenggat waktu berakhirnya gencatan senjata tarif pada 1 Maret, diperpanjang hingga 60 hari kedepan. Namun penasihat ekonomi Gedung Putih Larry Kudlow, dikutip dari Reuters, mengatakan bahwa belum ada keputusan untuk perpanjangan waktu tersebut.

Sebelumnya, diturunkannya rekomendasi pasar saham Indonesia oleh lembaga riset internasional Credit Suisse membuat investor domestik panik sehingga menekan laju IHSG turun cukup dalam. Berbeda dengan JP Morgan yang menilai pasar saham Indonesia dan sejumlah pasar negara berkembang lainnya akan tumbuh hingga dua digit tahun ini.

BNP Paribas Investment Partners juga memiliki proyeksi yang positif terhadap pasar saham dan obligasi INdonesia tahun ini. Mereka meprediksi IHSG trennya bullish dan akan menembus level 6.900 tahun ini. Melihat adanya perbedaan view tersebut, Direktur BEI Inarno Djajadi menilai hal tersebut merupakan hal yang biasa terjadi.

(Baca: Dirut BEI: Beda Prospek Pasar JP Morgan dan Credit Suisse Hal Biasa)