Morgan Stanley meyakini pasar saham Indonesia tahun ini akan memasuki periode bullish (naik). Berdasarkan indeks MSCI (Morgan Stanley Capital International), Indonesia tiga bulan terakhir yang mengungguli indeks Asia tidak termasuk Jepang (AxJ) dan emerging markets (EM) atau pasar negara berkembang lainnya.
Morgan Stanley memperkirakan, indeks harga saham gabungan (IHSG) tahun ini berpeluang naik hingga 9%, dengan empat saham yang dapat dijadikan pilihan investasi di antaranya saham PT Astra International Tbk. (ASII), PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA), PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI), PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk. (PGAS), dan PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk. (TLKM).
Kepala riset ekonomi Danareksa Research Institute dan panel ahli Katadata Insight Center (KIC), Damhuri Nasution mengatakan, sejak November tahun lalu sudah ada beberapa institusi asing yang memberikan penilaian overweight atau bullish terhadap pasar modal Indonesia.
"Penilaian ini mereka berikan menyusul adanya optimisme terhadap perundingan perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok, harga minyak yang turun dan kinerja ekonomi Indonesia yang masih relatif bagus dengan kondisi fiskal yang sehat," jelas Damhuri kepada Katadata.co.id, Selasa (8/1).
(Baca: Proyeksi Bursa Saham 2019: IHSG Berpotensi Tembus 7.000)
Menurutnya, peluang untuk pasar saham Indonesia untuk bullish dan bearish (turun) tetap ada. Peluang bullish akan besar ketika optimisme seputar perang dagang AS-Tiongkok menjadi kenyataan ditambah dengan rencana kenaikan suku bunga acuan The Fed, Fed Fund Rate (FFR) yang tidak seagresif tahun lalu.
Namun optimisme tersebut bisa saja sirna karena hasil perundingan dagang AS-Tiongkok masih belum bisa ditebak arahnya. Jika perundingan AS-Tiongkok tidak berjalan mulus, perang dagang antara keduanya akan berlanjut yang akan meningkatkan volatilitas di pasar. Di samping itu, Damhuri menambahkan, isu Brexit yang masih belum jelas arahnya membuat peluang volatilitas pasar masih cukup besar.
"Ke depan kondisi pasar saya pikir akan sangat tergantung pada data makroekonomi yang ada. Dengan kata lain peluang pasar untuk bullish dan bearish masih ada," papar Damhuri.
Menurut laporan Morgan Stanley yang berjudul "Indonesia: Why We Stay Bullish" ada beberapa faktor yang akan membuat IHSG bullish tahun ini, yaitu:
1. Stimulus tahun politik yang diperkirakan akan meningkatkan konsumsi dan ada kemungkinan adanya anggaran tambahan usai Pemilu.
2. Koreksi harga minyak mentah dunia meredakan kekhawatiran melebarnya defisit neraca transaksi berjalan, menurunkan potensi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
3. Kenaikan Fed Fund Rate oleh The Fed yang tidak seagresif sebelumnya. Bank Indonesia diperkirakan hanya akan menaikkan bunga acuannya sebesar 50 basis poin. Sementara itu, pasar saham AS sudah bergerak tanpa memperhitungkan (price in) kenaikan FFR.
Morgan Stanley juga memperkirakan dolar AS akan melemah hingga 10% tahun ini yang akan mendorong kenaikan pasar saham Indonesia sejalan dengan tingginya MSCI Indonesia yang bergantung pada pergerakan rupiah.
4. Pendapatan perusahaan akan tumbuh sebesar 11% pada 2019 dan 16% pada 2020.
5. Pertumbuhan kredit akan mulai bergeser dari sektor publik ke sektor swasta. Menurut laporan Morgan Stanley, pertumbuhan kredit tahun ini akan didorong lonjakan kredit sektor infrastruktur.
(Baca: Katadata Market Index: IHSG Januari Diperkirakan Masih Bearish)
Sementara itu, Katadata Market Index memperkirakan untuk bulan Januari pasar saham Indonesia masih dalam periode bearish yang sudah berlangsung sejak Februari 2018. Sejumlah indikator makro ekonomi domestik sebenarnya berpeluang untuk mendorong IHSG menuju arah periode bullish.
Namun perbaikan indikator makro ekonomi domestik tersebut dinilai belum signifikan yang disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya belum terjadi peningkatan pertumbuhan sektor riil, likuiditas perbankan yang masih ketat, serta kenaikan bunga acuan Bank Indonesia.
"Di sisi lain, kondisi perekonomian global juga belum pulih. Kondisi geopolitik masih memanas sebagai akibat dari perang dagang antara AS dan Tiongkok," kata panel ahli KIC yang terdiri dari Damhuri Nasution dan Wahyu Prasetyawan, Visiting Associate Professor di National Graduate Institute for Policy Studies (GRIPS).