Indeks harga saham gabungan (IHSG) tahun 2019 diproyeksi akan menembus level 7.000. Sejumlah faktor pendorong akan membuat pergerakan IHSG lebih bertenaga, salah satunya kembalinya investor asing masuk ke Indonesia, serta nilai tukar rupiah yang akan terus menguat.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso optimistis laju IHSG di tahun 2019 bisa terus meningkat dari posisi akhir tahun 2018 di level 6.194,4. Wimboh yakin indeks melaju di level 6.500 hingga 7.000 pada tahun depan.
"(IHSG) bisa tumbuh lagi. Kita coba stimulasi dengan memperbanyak emiten dan instrumen sehingga investor prioritasnya makin banyak nanti," kata Wimboh di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Jumat (28/12).
Wimboh meyakini kepercayaan investor asing sudah mulai kembali lagi untuk melakukan investasi di pasar modal Indonesia. Hal itu bisa berdampak pada aliran dana asing yang kembali masuk ke Indonesia (capital inflows). Dia melihat kondisi tersebut sudah mulai terlihat dalam beberapa bulan terakhir pada 2018.
(Baca: IHSG Turun 2,5% Selama 2018, Jokowi: Bursa Kita Terbaik Kedua di Dunia)
Hal itu juga bisa dilihat dari nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang posisinya kembali menguat. Padahal nilai tukar sempat menembus angka Rp 15.000 per dolar AS, namun pada penutupan perdagangan 2018, posisi nilai tukar berada di level 14.560 per dolar AS. Menurut Wimboh, penguatan nilai rupiah membuat investor nyaman berada di pasar modal Indonesia.
Optimisme Wimboh pada laju IHSG tahun 2019, sejalan dengan proyeksi Mirae Asset Sekuritas Indonesia yang memperkirakan IHSG akan berada di level 7.123 pada 2019. Head of Research Mirae Asset Sekuritas Hariyanto Wijaya mengatakan, tingginya potensi kenaikan IHSG salah satunya didorong oleh kembalinya investor asing ke pasar saham dalam negeri.
"Asing balik ke Indonesia, mulai November lalu," kata Hariyanto beberapa waktu lalu. Menurut analisisnya, kembalinya investor asing ke Indonesia salah satunya didorong oleh potensi melambatnya pertumbuhan ekonomi AS, sehingga investor kembali melirik emerging market (pasar negara berkembang), termasuk Indonesia. Menurut konsensus analis, perekonomian AS diprediksi hanya akan tumbuh 2,6% pada 2019.
Tidak hanya AS, secara keseluruhan, perekonomian dunia diprediksi akan melambat pada 2019 menurut proyeksi The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). OECD memperkirakan perekonomian dunia akan tumbuh 3,5% pada 2019 dan 2020. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan proyeksi pertumbuhan tahun ini sebesar 3,7%.
(Baca: Nilai-nilai Plus Bursa Saham Indonesia 2018 di Balik Minusnya IHSG)
Ada sejumlah faktor yang menjadi penyebab potensi melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia. Satu, naiknya suku bunga acuan bank sentral AS atau The US Federal Reserve (The Fed). Sepanjang 2018 The Fed telah empat kali menaikkan suku bunga acuannya masing-masing sebesar 25 basis poin. The Fed juga berencana menaikkan suku bunga acuannya sebanyak dua kali lagi pada 2019, masing-masing sebesar 25 basis poin.
Naiknya suku bunga acuan ini diprediksi akan semakin membebani pertumbuhan ekonomi AS. Padahal, rilis data ekonomi AS terbaru telah menunjukkan adanya perlambatan. Pada triwulan III 2018 ekonomi AS hanya tumbuh 3,4%. Angka tersebut lebih rendah 0,1% dari konsensus analis dan pelaku pasar yang memprediksi ekonomi tumbuh 3,5%, dan lebih rendah dari pertumbuhan triwulan II sebesar 4,2%.
Dua, perang dagang yang berlangsung antara AS dan Tiongkok telah membuat perekonomian kedua negara menderita. Data-data ekonomi Tiongkok juga telah menunjukkan adanya pelemahan. Tanda-tanda pelemahan ekonomi Tiongkok bisa terlihat dari laporan output industri dan pertumbuhan penjualan ritelnya untuk bulan November yang meleset dari ekspektasi.
Sebagai perekonomian dengan produk domestik bruto (PDB) terbesar kedua di dunia setelah AS, melambatnya pertumbuhan ekonomi Tiongkok akan turut menekan pertumbuhan ekonomi global. Apalagi negosiasi antara AS dan Tiongkok berpotensi menemui jalan buntu karena ketegangan antara AS dan Tiongkok yang kembali meninggi.
Presiden AS Donald Trump diberitakan oleh Reuters akan mengeluarkan kebijakan eksekutifnya untuk mendeklarasikan kondisi darurat nasional. Kebijakan eksekutif ini akan melarang perusahaan AS membeli alat-alat telekomunikasi dari perusahaan teknologi asal Tiongkok seperti Huawei dan ZTE karena dinilai memiliki risiko tinggi yang mengancam keamanan nasional AS.
Sementara itu, Analis Panin Sekuritas William Hartanto memperkirakan laju IHSG sepanjang 2019 hanya akan berada di kisaran level 6.500 hingga 6.800 saja. Meski lebih rendah dari prediksi yang lain, Willliam juga menilai potensi peningkatan IHSG juga karena dana asing yang mulai kembali masuk ke Indonesia.
Menurut analisisnya, sektor-sektor yang menjadi penyokong laju IHSG pada tahun 2019 di antaranya sektor keuangan, properti, dan industri dasar. Sektor-sektor tersebut menjadi penyokong laju IHSG karena penyokong laju IHSG tahun 2018, yaitu sektor tambang trennya sudah berakhir.
"(Sektor-sektor penyokong 2019) diprediksi bisa menggantikan yang sudah naik signifikan tahun 2018. Setiap tren ada akhirnya," katanya kepada Katadata.co.id, Jumat (28/12).
(Baca: Proyeksi Ekonomi 2019: Optimisme Pemerintah vs Pesimisme Lembaga Dunia)