IHSG dan Bursa Asia Berguguran Terseret Kejatuhan Wallstreet

ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Penulis: Happy Fajrian
18/12/2018, 10.47 WIB

Tekanan terhadap indeks harga saham gabungan (IHSG) berlanjut pada pembukaan perdagangan pagi ini, Selasa (18/12). IHSG dibuka langsung terperosok ke level 6.016,91 atau turun 1,19%. Sementara itu bursa-bursa Asia berguguran setelah pada perdagangan kemarin naik cukup kencang.

Kejatuhan IHSG dan bursa Asia terseret kejatuhan bursa utama Amerika Serikat. Indeks S&P 500 terkoreksi 2,08% ke titik terendahnya sejak Oktober 2017. Nasdaq Composite jatuh 2,27% yang salah satunya dikarenakan anjloknya saham Amazon sebesar 4,5%, yang merupakan saham berkinerja terbaik tahun ini. Sedangkan Dow Jones untuk hari kedua secara berturut-turut terkoreksi hingga 2%.

Jatuhnya bursa AS membuat indeks Strait Times Singapura yang pada perdagangan kemarin menjadi juara dengan kenaikan tertinggi, kali ini menjadi juara untuk bursa yang terkoreksi paling dalam sebesar 1,69%. Dua indeks lainnya yang jatuh lebih dari 1% yaitu Nikkei 225 Index terkoreksi 1,23%, dan PSEi Filipina terkoreksi 1,43%. Kospi Korea sementara ini menjadi bursa berkinerja terbaik dengan koreksi hanya 0,08%.

Kemarin IHSG terkoreksi hingga 1,31% karena tekanan dari neraca perdagangan yang mencatatkan defisit terdalamnya sepanjang tahun ini. Karena tekanan defisit neraca perdagangan tersebut, nilai tukar rupiah dipastikan akan semakin tertekan, serta defisit neraca berjalan akan semakin melebar.

(Baca: Defisit Neraca Dagang Terburuk, Sri Mulyani dan BI Sebut Faktor Global)

Kali ini tekanan berasal dari lingkungan global karena kekhawatiran perlambatan perekonomian global yang memuncak dari para investor di AS yang kemudian merembet ke Asia. Dilansir dari Associated Press, Chief of Investment Research Nationwide Investment Management, Mark Hackett mengatakan, tekanan jual investor AS karena ada kekhawatiran berlebihan para investor terkait perlambatan ekonomi global.

"Pada dasarnya ini hanya kepanikan para investor retail. Mereka menyalah artikan perlambatan ekonomi dengan resesi," kata Hackett.

Investor juga masih menantikan hasil rapat The US Federal Reserve (The Fed) yang walau terus mendapat kritik dari Presiden AS Donald Trump, akan menaikkan suku bunga acuannya Rabu (19/12) besok. Dalam cuitannya di Twitter Trump mengatakan, "sangat menakjubkan bank sentral (the Fed) masih mempertimbangkan kenaikan suku bunga". Trump menilai suku bunga acuan saat ini sudah sangat tinggi, dan sangat bodoh jika The Fed kembali menaikkan suku bunganya.

Melambatnya perekonomian global terlihat dari sejumlah data ekonomi yang dirilis AS dan Tiongkok yang di bawah ekspektasi. Sementara itu Bank Sentral Eropa juga menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi kawasan Eropa untuk tahun 2018 dan 2019, masing-masing dikurangi sebesar 0,1%.

Padahal ada perkembangan positif dari negosiasi yang berlangsung antara AS dan Tiongkok. Namun kekhawatiran investor yang berlebihan terkait melambatnya pertumbuhan perekonomian global, membuat aura positif perang dagang tersebut tidak bertenaga mengangkat bursa global.

(Baca juga: Pemerintah Siap Tindak Lanjuti Rencana Investasi Pegatron di Indonesia)