ADB: Pasar Obligasi Indonesia Tumbuh Paling Tinggi di Asia Timur

KATADATA
Ilustrasi perdagangan obligasi
Penulis: Hari Widowati
21/11/2018, 12.01 WIB

Bank Pembangunan Asia (ADB) menyebutkan pasar obligasi Indonesia pada kuartal III 2018 tumbuh paling tinggi dibandingkan negara-negara lainnya di Asia Timur, yakni sebesar 13,9% (year on year) menjadi US$ 185 miliar atau Rp 2.682,5 triliun. Pertumbuhan pasar obligasi ini ditopang oleh gencarnya penerbitan obligasi pemerintah.

Asia Bond Monitor (ABM) yang dirilis 20 November lalu menunjukkan secara kuartalan pasar obligasi Indonesia tumbuh 5,9% pada kuartal III 2018, lebih tinggi dibandingkan rerata pertumbuhan di Asia Timur yang mencapai 4,3%. Pasar obligasi pemerintah pada kuartal III 2018 mencapai US$ 157 miliar atau sekitar Rp 2.276,5 triliun, tumbuh 6,2% secara kuartalan atau 13,5% yoy.

Pertumbuhan obligasi pemerintah yang tinggi di kuartal III merupakan imbas dari lelang Surat Berharga Negara (SBN) yang kurang berhasil pada kuartal II 2018 karena pasar meminta imbal hasil yang lebih tinggi. Sementara itu, pasar obligasi korporasi tumbuh 4,1% secara kuartalan atau 16,5% yoy menjadi US$ 28 miliar atau sekitar Rp 406 triliun.

Laporan tersebut menyebutkan, imbal hasil obligasi naik selama kuartal III 2018 sejalan dengan kebijakan kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia yang dilakukan untuk mempertahankan minat investor. "Pasar obligasi Indonesia sangat sensitif terhadap perkembangan pasar global karena investor asing menjadi pemegang terbesar obligasi pemerintah," kata Kepala Ekonom ADB Yasuyuki Sawada, dalam siaran pers, Rabu (21/11).

ADB mengatakan, pasar obligasi Asia Timur hingga akhir September 2018 mencapai US$ 12,8 triliun, naik 4,3% dibandingkan kuartal II 2018. Pasar obligasi Tiongkok memberikan kontribusi terbesar terhadap pasar obligasi Asia Timur, dengan porsi 72% atau US$ 9,2 triliun. Porsi kepemilikan investor asing pada obligasi pemerintah Asia Timur dalam mata uang lokal sedikit menurun, kecuali di Tiongkok dan Filipina. Porsi kepemilikan investor asing di obligasi pemerintah Tiongkok naik karena liberalisasi pasar obligasi yang dilakukan pemerintah negara tersebut.

(Baca: Kenaikan Yield Obligasi Pemerintah Indonesia Tertinggi Kedua di ASEAN)

Risiko Jangka Pendek

ADB juga menyoroti risiko jangka pendek yang membayangi pasar obligasi negara-negara berkembang di Asia Timur, seperti penarikan dana asing dari pasar negara-negara berkembang, kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat (AS) yang lebih cepat dari perkiraan, dan meningkatnya tensi perdagangan global akibat perang dagang. Namun, para pengambil kebijakan di Asia Timur dinilai mampu menghadapi tantangan ini.

"Kekhawatiran terhadap pasar negara berkembang menguat tetapi fundamental Asia yang kuat seharusnya mampu menarik investor kembali ke pasar obligasi dalam mata uang lokal di kawasan tersebut," kata Yasuyuki.

Tantangan lain yang juga perlu diwaspadai adalah pengetatan likuiditas global, depresiasi nilai tukar regional terhadap dolar AS, dan arus keluar modal asing yang mengancam stabilitas sistem keuangan di kawasan ini. Oleh karena itu, para pengambil kebijakan harus mengawasi dengan ketat perkembangan di pasar keuangan global dan mengambil langkah-langkah strategis untuk mencegah gejolak di pasar obligasinya.

(Baca: Angin Segar untuk Obligasi Bank di Tengah Himpitan Likuiditas)