KATADATA - Perlambatan ekonomi Cina dan kejatuhan mata uang renminbi telah memukul pasar saham dan keuangan di seluruh dunia dalam beberapa hari terakhir ini. Kekhawatiran terhadap bakal terulangnya krisis bursa saham dan pasar finansial tahun 2008 silam, kini mulai menghantui berbagai pihak. Termasuk George Soros, investor kawakan yang “terlibat” dalam berbagai kasus keuangan global selama lebih dua dekade terakhir.
Berbicara dalam sebuah forum ekonomi di Colombo, Sri Lanka, Kamis (7/1), Soros menyatakan pasar global tengah menghadapi krisis dan investor perlu bersikap hati-hati. Pangkal masalah utamanya adalah Cina tengah berjuang untuk menemukan model baru pertumbuhan ekonominya yang bertumpu pada konsumsi dan sektor jasa. Namun, jalan yang ditempuh Cina dengan melemahkan (devaluasi) mata uangnya telah mendatangkan masalah bagi seluruh dunia.
Akibatnya, negara-negara berkembang menghadapi tantangan untuk menjaga tingkat suku bunganya agar tetap positif. Soros menilai kondisi saat ini mirip tahun 2008, ketika krisis pasar finansial di Amerika Serikat (AS) yang berhulu dari kredit macet rumah murah (subprime mortgage) menjalar ke seluruh dunia sehingga memicu krisis global.
"Cina memiliki masalah besar penyesuaian (ekonominya). Saya mengatakan ini akan menjadi sebuah krisis. Ketika saya melihat pasar finansial yang menghadapi masalah serius, itu mengingatkan saya pada krisis 2008," kata Soros, seperti dikutip Bloomberg.
(Baca: Bank Dunia Peringatkan Ekonomi Negara Berkembang Hadapi Risiko Besar)
Soros seakan tak pernah lepas dari kontroversi krisis di dunia dalam kurun lebih 20 tahun terakhir. Ia dikenal sebagai “Pria di balik kebangkrutan Bank of England” saat melakukan aksi short selling senilai US$ 10 miliar sehingga merontokkan mata uang pounsterling tahun 1992. Pria kelahiran Hungaria ini juga dituding memicu krisis mata uang di Asia Tenggara tahun 1997 yang menjelma menjadi krisis ekonomi di kawasan tersebut.
Sebelum tahun 2008, Soros telah memperingatkan akan adanya potensi krisis. Pada september 2011, dia menyatakan krisis utang di Yunani bakal lebih besar dari krisis 2008.
Kini, Soros kembali mengutarakan ramalannya berdasarkan kondisi yang tengah terjadi di Cina. Awal tahun ini, bermula dari indeks manufaktur Desember 2015 Cina yang di bawah perkiraan para analis sehingga memukul banyak bursa saham di dunia karena kekhawatiran terhadap perlambatan ekonomi Cina semakin besar. Bloomberg mencatat, hampir US$ 2,5 triliun amblas sejak awal 2016 hingga Rabu lalu akibat bergugurannya harga saham di seluruh dunia.
(Baca: Dana Asing Kabur Rp 22,6 Triliun, IHSG Anjlok 12 Persen Selama 2015)
Kabar buruk terus berlanjut. Kamis lalu (7/1), bank sentral Cina, People’s Bank of China (PBoC) telah memotong suku bunganya sehingga mata uang renminbi melorot ke level terendah terhadap dolar AS sejak Agustus tahun lalu. Alhasil, indeks CSI 300 di bursa China merosot lebih 7 persen pada pembukaan perdagangan hari Kamis sehingga memicu pengaktifan otomatis penghentian perdagangan di bursa sahamnya.
Kondisi ini menjalar ke pasar saham di Asia, Eropa, hingga Amerika. Kamis malam, indeks bursa saham di AS anjlok lebih 2 persen. Chicago Board Options Exchange Volatility Index, indeks yang dikenal sebagai pengukur ketakutan investor, melejit naik 13 persen. Sedangkan Nikkei Stock Average Volatility Index, yang mengukur biaya perlindungan pada saham-saham di bursa Jepang, telah naik 43 persen sejak awal tahun ini.
"Gejolak pasar pekan ini menunjukkan tidak ada seorangpun yang tahu kebijakan sebenarnya sekarang. Atau cuma pemerintah sendiri yang tahu atau mampu menerapkan kebijakan itu," kata DBS dalam catatan valuta asing, Jumat (8/1). "Pesan pasar itu keras dan jelas untuk mengetahui kejelasan di waktu mendatang."