Meski IPO Tercatat Tinggi, Rata-rata Nilai Transaksi Indonesia Turun

ANTARA FOTO/NOVA WAHYUDI
Ilustrasi, logo Bursa Efek Indonesia (BEI). Selama Januari-April 2020 IPO Indonesia tercatat sebanyak 26 perusahaan, namun rata-rata nilainya turun 74%.
Penulis: Agung Jatmiko
18/5/2020, 14.20 WIB

Di tengah pandemi virus corona atau Covid-19, pasar modal Indonesia masih mencatatkan jumlah penawaran umum perdana atau initial public offering (IPO) yang tinggi.

Data Bloomberg menyebut, pada Januari-April 2020, terdapat 26 IPO yang direalisasikan di Bursa Efek Indonesia (BEI). Angka ini jauh lebih banyak dibandingkan Malaysia, dan Singapura, yang masing-masing tercatat sebanyak delapan dan enam IPO.

Meski demikian, pasar ekuitas Indonesia, yang terdiri dari IPO dan penawaran lainnya, masih relatif kecil dalam hal nilai perolehan. Ukuran rata-rata setiap penawaran tahun ini adalah US$ 10 juta, turun 74% dari ukuran penawaran rata-rata sebesar US$ 36 juta pada periode yang sama tahun lalu.

Secara total, arus dana yang yang diperoleh dari pasar ekuitas pada Januari-April 2020 tercatat sebesar US$ 272 juta, turun 48,67% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu sebesar US$ 550 juta.

Hal ini akan menghasilkan jumlah modal terendah yang terkumpul dalam 10 tahun terakhir, sejak 2019. Dalam lima tahun terakhir, hanya ada enam penawaran ekuitas tambahan oleh perusahaan-perusahaan Indonesia, yang dikumpulkan sekitar USD 1,1miliar. Tiga di antaranya dilaksanakan pada 2019 lalu.

“Perusahaan Indonesia masih lebih suka mengumpulkan modal dari pasar utang. Pada Januari-April 2020, total sebanyak US$ 18,9 miliar dikumpulkan melalui penerbitan obligasi dan sindikasi pinjaman, 98,1% dari total modal yang dikumpulkan,” kata Head of Global Data Bloomberg Vatsan Sudersan, dalam siaran pers, Senin (18/5).

Sebanyak 84% dari obligasi yang diterbitkan oleh perusahaan Indonesia terdaftar di pasar luar negeri, dengan Singapura menjadi destinasi utama penerbitan obligasi. Selama Januari-April 2020 volume penerbitannya tercatat sebesar US$ 15,3 miliar, naik112,5% dibandingkan Januari-April 2019, yang sebesar US$ 7,2 miliar.

(Baca: Meski Diwarnai Aksi Jual Asing, IHSG Mampu Menguat Tipis 0,03%)

Vatsan menilai, pilihan merilis obligasi berhubungan erat dengan ketatnya likuiditas di antara bank domestik Indonesia. Beberapa bulan mendatang, ia katakan, akan berat bagi perbankan Indonesia untuk merilis surat utang. Pasalnya, kondisi perekonomian global saat ini tengah dipengaruhi oleh pandemi virus corona atau Covid-19.

Beberapa poin yang akan menjadi perhatian investor adalah rasio likuiditas perbankan Indonesia, yang ditunjukkan oleh loan to deposit ratio (LDR). Selain itu, data mengenai kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) juga akan dicermati.

Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Bloomberg, LDR lima bank terbesar di Indonesia berdasarkan total aset meningkat selama tiga tahun terakhir. Sebelumnya rata-rata LDR masih sekitar 90% pada 2017, namun tahun lalu LDR lima bank terbesar meningkat menjadi 97%.

Besaran ini jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata LDR perbankan Malaysia, yang sebesar 92% untuk lima bank terbesarnya. Serta SIngapura, dengan rata-rata 88% untuk tiga bank terbesarnya.

Dari segi merger dan akuisisi (M&A), aktivitas terus didukung oleh kesepakatan domestik. Dari segi nilai kesepakatan, selama Januari-April 2020 nilai M&A Indonesia tercatat sebesar US4 2,9 miliar, turun 61% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Aktivitas kesepakatan di sektor keuangan adalah yang paling terkena dampak, dan mengalami penurunan 93% pada volume dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Kesepakatan terbesar yang melibatkan perusahaan Indonesia tahun ini adalah, putaran pembiayaan sebesar US$  1,2 miliar untuk Gojek.

(Baca: Bank BUMN Gencar Terbitkan Surat Utang Valas untuk Perkuat Likuiditas)