Mayoritas saham emiten rokok jatuh dalam beberapa hari terakhir. Beberapa sentiment negatif mempengaruhi kinerja saham emiten ini. Investor pun menunggu kepastian mengenai besaran kenaikan tarif cukai yang akan ditetapkan pemerintah untuk tahun depan.
Sejak 12 Oktober sampai penutupan perdagangan 21 Oktober harga saham PT Gudang Garam Tbk (GGRM) sudah turun 8,13%, PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk (HMSP) 9,3% dan PT Indonesian Tobaco Tbk (ITIC) 4,7%. Sementara dua emiten lain PT Bentoel Internasional Investama Tbk (RMBA) dan PT Wismilak Inti Makmur Tbk (WIIM) tercatat naik.
Penurunan sudah terjadi pada penutupan perdagangan awal pekan. Saham Gudang Garam turun 1,9%, HM Sampoerna turun 1,6%. Saat itu Kementerian Keuangan mengelar konferensi pers virtual mengenai penerimaan cukai. Kementerian juga kembali menyampaikan rencana kenaikan cukai tahun depan.
Keesokan harinya, saham kedua emiten rokok ini kembali turun lebih dari 5% pada perdagangan Selasa (20/10). Gudang Garam mencatatkan penurunan terdalam, 5,86% ke level Rp 40.550 per saham. Kemudian disusul HM Sampoerna yang terkoreksi 5,67% menjadi Rp 1.415 per saham dan Wismilak 5,21% ke level Rp 364 per saham. Sedangkan saham Bentoel International stagnan di posisi Rp 370 per saham.
Analis Panin Sekuritas William Hartanto mengatakan pasar masih menunggu kepastian pemerintah mengumumkan kebijakan cukai rokok. Pemerintah memang sudah memastikan akan menaikkan tarif cukai tahun depan, tapi besarannya belum diumumkan. "ini tetap menjadi sentimen negatif," ujarnya kepada Katadata.co.id, Rabu (21/10).
Hingga kini pemerintah memang belum memutuskan berapa kenaikan tarif cukai. Kementerian Keuangan masih menghitung berapa besaran tarifnya. Biasanya, pemerintah mengumumkan besaran kenaikan tarif cukai rokok pada September atau Oktober setiap tahunnya. Kabarnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani pun belum melaporkan besaran tarif cukai rokok tahun depan kepada Presiden Joko Widodo.
Direktur Jenderal (Dirjen) Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Heru Pambudi mengaku masih membutuhkan waktu untuk menentukan tarif cukai rokok 2021. Apalagi dampak ekonomi akibat pandemi Covid-19 telah memberikan pukulan berat kepada pabrik-pabrik rokok.
Menurutnya, pemerintah akan menentukan tarif cukai rokok 2021 yang ideal bagi pelaku usaha dan efektivitasnya untuk menurunkan tingkat prevalensi perokok usia muda. “Ini yang membuat kami perlu kehati-hatian dan tambahan waktu,” ujarnya dalam konferensi pers APBN Laporan Periode Realisasi September, Senin (19/10).
William memprediksi gerak saham emiten rokok akan menurun setelah pemerintah mengumumkan besaran kenaikan tarifnya. Banyak yang memprediksi kenaikan tarif cukai rokok bisa melebihi 8%. Prediksi ini mengacu pernyataan pemerintah mengenai formula kenaikan tarif cukai mengikuti pertumbuhan ekonomi ditambah inflasi.
Meski dalam jangka pendek akan penurunan harga saham emiten rokok menurun, saham sektor ini bisa menjadi peluang investasi dalam jangka panjang. "Kalau soal kinerjanya, mungkin kenaikan cukai bisa menurunkan penjualan, karena harga rokok bertambah mahal. Tapi kalau melihat fakta perokok kan tetap selalu ada," ujarnya.
Sementara menurut Analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia Christine Natasya, penurunan saham emiten-emiten rokok disebabkan pemulihan ekonomi yang berjalan lambat. "Meski pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di DKI Jakarta telah kembali ke masa PSBB transisi, pemulihan volume penjualan rokok masih didorong oleh mayoritas perokok yang membeli rokok per batang," ucap Christine dalam risetnya, Selasa (20/10).
Daya beli masyarakat, menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi penjualan rokok. Kementerian Ketenagakerjaan tengah memperhitungkan Upah Minimum Provinsi (UMP) yang akan ditetapkan pada 1 November 2020. Ada kemungkinan kenaikan upah ini lebih rendah.
Biasanya, upah minimum dihitung berdasarkan tingkat pertumbuhan ekonomi ditambah inflasi. Namun, berdasarkan kabar yang beredar, upah minimum tahun depan akan mengacu tingkat inflasi yang diperkirakan hanya berkisar 1,5%-2%. Perekonomian pun minus akibat dampak pandemi yang panjang. Padahal, serikat pekerja menuntut kenaikan upah minimum sebesar 8% tahun depan.
"Ini menciptakan ketidakpastian bagi perusahaan rokok karena pemulihan daya beli berjalan lebih lambat lagi seiring rendahnya upah minimum. Ditambah lagi, pemerintah berencana menaikkan tarif cukai untuk tahun depan," tutur Christine.
Selain itu, sektor rokok juga mendapat sentimen negatif dari adanya saran World Health Organization (WHO) kepada pemerintah Indonesia untuk menaikkan tarif cukai 25% tiap tahunnya. Besaran tersebut tergolong tinggi jika melihat historikal kenaikan cukai di Indonesia.
Mirae Asset Sekuritas merekomendasikan hold saham HM Sampoerna dengan target harga Rp1.820, Gudang Garam direkomendasikan beli dengan target harga Rp 57.000 "Kami mempertahankan sikap Netral kami di sektor tembakau," kata Christine dalam risetnya.
Produksi Rokok Turun Sejak April
Produksi rokok telah mengalami penurunan sepanjang tahun ini. Hal ini terlihat dari data Kementerian Keuangan yang mencatat adanya penurunan produksi rokok industri hasil tembakau (IHT) sejak April hingga September 2020.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan produksi hasil tembakau sempat tumbuh positif pada Maret. Kenaikan produksi ini terjadi karena kebanyakan produsen rokok memborong dan meningkatkan stok pita cukai untuk mengantisipasi kemungkinan pembatasan sosial atau lockdown di sejumlah daerah.
Namun, sebulan kemudian mulai terjadi perlambatan produksi. Perlambatan ini berlangsung hingga bulan lalu. “Selepas Maret lalu pertumbuhannnya berada di negatif teritori terus,” kata Menkeu Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN Realisasi September 2020, Senin (19/10).
Produksi penurunan produksi hasil tembakau dapat dilihat pada databoks di bawah ini: