Investor ritel pasar saham mengeluhkan soal rencana pengenaan tarif bea materai untuk tiap trade confirmation (TC) senilai Rp 10.000, seperti tercantum Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai (UU Bea Meterai). Kebijakan ini dinilai tidak sejalan dengan slogan Bursa Efek Indonesia "Yuk Nabung Saham".
"Kebijakan ini kurang sesuai dengan semangat literasi dan inklusi keuangan. Ini pun kurang sesuai dengan slogan Yuk Nabung Saham di Bursa," kata Yoli, salah satu investor retail, ketika dihubungi Katadata.co.id, Senin (21/12).
Tarif bea meterai yang mulai berlaku 1 Januari 2021 tersebut, dikenakan tanpa batasan nilai nominal yang diterima investor sebagai dokumen transaksi surat berharga. Yoli mengatakan, pengenaan materai ini memberatkan investor retail yang cenderung transaksi dalam nominal yang tidak besar.
Menurutnya, adanya pengenaan bea materai untuk setiap trade confirmation yang dikenakan untuk setiap transaksi dinilai kurang bijak bagi investor. "Kecuali jika ada batasan maksimal atau hanya dalam periode tertentu," kata Yoli.
Tidak hanya Yoli, melalui Change.org, Inan Sulaiman membuat petisi agar pemerintah melakukan evaluasi bea materai untuk pasar saham. Hingga berita ini ditulis pada Senin (21/12) sekitar pukul 15.30 WIB, petisi ini sudah ditandatangani hampir 5.000 orang.
Dalam petisi tersebut, dia menyarankan pemerintah sebaiknya memberikan batas bawah untuk TC yang dikenakan materai senilai Rp 100 juta, agar tidak memberatkan investor ritel. Menurutnya, potensi investor retail di masa depan sangatlah menjanjikan karena banyak yang mulai sadar untuk mengalihkan dananya dalam investasi di pasar modal.
"Sebagai Investor retail yang bermodal sedikit, tentunya biaya materai sangat memberatkan kami," seperti kata Inan dalam petisi yang diunggah melalui Change.org berjudul "Evaluasi Bea Materai untuk Pasar Saham!"
Analis Panin Sekuritas William Hartanto mengatakan dengan adanya peraturan bea materai ini, investor retail bisa menggunakan strategi berinvestasi dalam jumlah besar. Meski begitu, strategi ini memang tidak sejalan dengan semangat menabung saham seperti yang digaungkan pihak Bursa.
"Ada beberapa cara lain untuk mereka investasi, misalnya investasi ke reksa dana saham atau belajar untuk membeli dalam jumlah lebih besar, sehingga biaya Rp 10.000 terasa tidak besar," kata William kepada Katadata.co.id, Senin (21/12).
Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa Bursa Efek Indonesia (BEI) Laksono Widodo mengatakan, bea materai dikenakan tiap TC, bukan per lembar saham. TC dikeluarkan dalam jangka waktu harian, jika investor melakukan transaksi.
"TC itu juga bukan per transaksi, tapi untuk sekumpulan transaksi yang dilakukan di satu hari. TC dikeluarkan oleh broker ke nasabah di akhir hari," kata Laksono menjelaskan, Sabtu (19/12).
Laksono mengatakan, saat ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersama dengan Self-Regulatory Organization (SRO) dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tengah berkoordinasi untuk mengeluarkan ketentuan teknis serta kebijakan implementasi UU tersebut.
Salah satu yang dibahas yaitu minimal nilai transaksi di TC yang tidak dikenakan bea materai. Pertimbangannya, agar bea meterai tetap sejalan dengan program pendalaman pasar yang saat ini telah efektif meningkatkan pertumbuhan jumlah dan aktivitas investor retail di Bursa.
Direktur P2 Humas DJP Hestu Yoga Saksama pun mengkonfirmasi, saat ini tengah menyusun peraturan pelaksanaan. Pengenaan Bea Meterai akan dilakukan terhadap dokumen dengan mempertimbangkan batasan kewajaran nilai yang tercantum dalam dokumen dan memperhatikan kemampuan masyarakat.
"Dalam rangka mendorong atau melaksanakan program pemerintah dan kebijakan lembaga yang berwenang di bidang moneter atau jasa keuangan, dapat diberikan fasilitas pembebasan bea meterai," kata Hestu dalam keterangan resmi, Jumat (18/12).
Investor Retail Mulai Bangkit
BEI menilai 2020 merupakan tahun kebangkitan investor ritel domestik pasar modal dalam negeri. Hal ini tercermin dari jumlah investor retail yang aktif melakukan transaksi di pasar modal setiap harinya sepanjang tahun ini.
Berdasarkan data BEI, rata-rata 151 ribu investor retail aktif bertransaksi setiap harinya pada November 2020. Padahal, pada Januari 2020, rata-ratanya hanya 51 ribu investor retail yang bertransaksi. Artinya, terjadi kenaikan kontribusi investor ritel sebesar 196% pada perdagangan saham.
"Tahun ini adalah awal kebangkitan dari retail kita," kata Direktur Utama BEI Inarno Djajadi dalam acara media gathering yang digelar secara virtual, Selasa (1/12).
Bukti lainnya, tercermin dari kepemilikan saham investor retail yang saat ini mencapai 12,2% dari total kepemilikan saham per Oktober 2020. Komposisi kepemilikan saham lainnya yaitu investor institusi domestik memiliki 39% saham, sementara institusi asing memiliki 48,8% saham.
Kebangkitan pada investor retail terlihat dari bertambahnya porsi kepemilikan investor retail dibandingkan dengan tahun lalu yang hanya 10,6% saham. Saat itu, institusi asing masih mendominasi dengan kepemilikan 51,7% saham dan institusi domestik sebesar 37,7% saham.
Selain itu, jika dilihat dari total nilai perdagangan saham sepanjang Januari hingga Oktober 2020, investor retail berkontribusi terhadap 44,3% nilai transaksi. Sedangkan investor institusi domestik hanya 21,7% dan asing hanya 34%. Sehingga, jika digabungkan antara investor retail dan institusi domestik, maka 66% transaksi di pasar saham didominasi pemain lokal.