Akhir-akhir ini, beberapa pesohor Tanah Air pamer portofolio sahamnya ke publik. Salah satunya, selebritas Raffi Ahmad dan Ari Lasso yang pamer portofolio saham di PT M Cash Integrasi Tbk (MCAS). Hal ini mendapat perhatian dari berbagai kalangan karena mengundang pro dan kontra.
Pengamat Pasar Modal yang merupakan Co-founder Sahamology, Satrio Utomo mengatakan, pesohor yang membahas saham sebenarnya bukan tergolong memberikan rekomendasi. Berdasarkan Undang-Undang Pasar Modal Tahun 1995 Pasal 35, rekomendasi diberikan jika ada unsur kata "beli" atau "jual".
"Kalau tidak ada kata-kata 'beli' atau 'jual', bukan merupakan rekomendasi. Kalau di bursa lain, jauh lebih kompleks. Pamer saham saja sudah termasuk rekomendasi," kata Satrio dalam diskusi secara online beberapa waktu yang lalu.
Dalam kasus Raffi Ahmad dan Ari Lasso, keduanya memang tidak memberikan rekomendasi untuk melakukan jual atau beli terhadap saham MCAS dalam unggahannya di Instagram pada Senin (4/1). Meski begitu, saham MCAS setelahnya tercatat mengalami kenaikan.
Pada perdagangan Senin itu, saham MCAS berhasil ditutup naik hingga 5,26% menjadi Rp 4.200 per saham. Kenaikan signifikan terjadi pada hari berikutnya, yaitu sebesar 8,33% menjadi Rp 4.550 per saham. Kenaikan kembali berlanjut pada hari-hari berikutnya. Secara total, dalam sepekan saham, saham MCAS naik 14,53% menjadi Rp 4.570 per saham.
Manajemen MCAS juga membantah telah merekrut artis ternama Raffi Ahmad dan Ari Lasso dalam mempromosikan saham milik perseroan. Testimoni dari kedua artis tersebut merupakan keputusan personal dan perseroan tidak memiliki hubungan bisnis dengan kedua artis tersebut.
"Perseroan ataupun grup perseroan tidak melakukan endorsement dengan kedua public figure tersebut untuk merekomendasikan saham perseroan," kata Direktur MCAS Rachel Stephanie M Siagian dalam keterangan persnya, Selasa (5/1).
Raffi Ahmad juga mengklarifikasi hal ini. Dia menegaskan video promosi saham MCAS pada akun Instagram pribadi bukan untuk promosi. "Ini bukan endorse, pengalaman gue saja. Gue pertama kali main saham di MCAS itu," ujarnya melalui akun instagram.
Menurut Satrio, tidak ada pelanggaran hukum dengan apa yang dilakukan oleh kedua selebritas tersebut, hanya saja ada moral hazard yang perlu diperhatikan. Menurutnya, perlu dilihat posisi pesohor tersebut apakah dalam posisi beli atau jual ketika menyebutkan saham tertentu.
Para pesohor tersebut bisa menerobos moral hazard ketika dalam posisi jual. "Dalam praktek pump and dump, ketika harga naik kemudian turun, mereka yang untung kan yang melakukan posisi jual," kata Satrio.
Moral hazard lainnya yang mungkin dilanggar adalah mengajak orang untuk investasi pada saham yang memiliki price to equity ratio (PER) tinggi. Ia menjelaskan, investasi itu jangka panjang, berharap mendapatkan keuntungan dari dividen sehingga berharap perusahaan memiliki laba bersih.
Investasi pada saham, sebaiknya membeli saham yang murah yang tercermin dari PER yang rendah. Sedangkan MCAS memiliki PER tinggi yaitu 159 kali per Jumat (8/1) berdasarkan data Bloomberg. "Ini layaknya untuk trading bukan untuk investasi," kata Satrio.
Tanggapan Otoritas Bursa
Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota BEI Laksono W. Widodo mengatakan kegiatan influencer saham di media sosial ini merupakan fenomena yang baru, termasuk maraknya transaksi oleh investor retail domestik yang tak jarang terpengaruh. Meski begitu, Bursa tidak mengkategorikan influencer saham ini sebagai insider.
"Walaupun ada aturan mengenai ini (insider trading), approach yang akan dipakai adalah persuasi dan edukasi kepada para influencer," kata Laksono kepada awak media, Selasa (5/1).
Menurut Laksono, pembuktian insider trading merupakan hal tidak mudah, bahkan di pasar modal dalam negeri, pembuktiannya hampir belum pernah ada. Jika influencer memamerkan portofolio sahamnya, Laksono masih ragu apakah orang tersebut sedang melakukan promosi atau tidak.
Ia bahkan memberikan gambaran tentang pesohor yang menggunakan pakaian tertentu, dimana penggemarnya ikut membeli pakaian tersebut. "Apakah dia promosi pakaian itu? Belum tentu juga," kata Laksono.
Sehingga, pihaknya harus bijak untuk menyikapi fenomena baru ini karena dunia sudah berubah dalam banyak hal. Sejauh ini, pihak bursa menilai kehadiran influencer saham sebagai hal yang positif karena membantu Bursa untuk memperdalam pasar (market deepening).
Hanya saja, Laksono mengingatkan kepada para influencer saham terkait risiko yang membayangi tindakannya tersebut. Influencer saham perlu mempertimbangkan tanggung jawab moral untuk para pengikutnya. Bahkan ada risiko tuntutan hukum yang membayangi.
"Ada kemungkinan potensi tuntutan hukum dari para pengikutnya apabila ada yang bisa dikecewakan," kata Laksono.
Sekilas Tentang MCAS
Berdasarkan data pemegang saham yang diunggah di keterbukaan informasi per 6 Januari 2021, ada 7 pihak yang memiliki saham MCAS di atas 5%. Tujuh pihak pemegang saham dengan kepemilikan di atas 5% tersebut, secara total miliki 54,17%. Sementara, sisa porsi sahamnya dimiliki oleh publik yaitu sebesar 45,83%.
Porsi yang paling besar dimiliki oleh Martin Suharlie sebesar 9,36%. Pemegang saham lainnya adalah PT 1 Inti Dot Com sebesar 9,05%, porsi yang sama juga dimiliki oleh Bos Ltd S/A PT 1 Inti Dot Com. Lalu, porsi saham MCAS sebesar 8,41% dimiliki oleh PT Hero Intiputra. Pemilik perusahaan lainnya yaitu PT Nusantara Teknologi Perkasa yang memiliki sebesar 5,06%.
Saham MCAS berikutnya juga dimiliki oleh Grup Kresna. Sebesar 6,98% saham dimiliki oleh PT Kresna Graha Investama Tbk (KREN) dan PT Kresna Karisma Persada yang sebesar 6,25%.
KREN merupakan pemegang saham pengendali MCAS. KREN didirikan oleh Michael Steven pada 1999 sebagai sebuah investment bank tradisional yang bergerak di bidang investments management, securities brokerage, dan underwriting.
MCAS didirikan pada 1 Juni 2010. Tujuh tahun berdiri, perusahaan mereposisi strategi bisnisnya untuk terlibat dalam bisnis distribusi produk digital. Perusahaan melihat, semakin banyak masyarakat Indonesia yang terhubung ke internet, kebutuhan akan produk digital, seperti pulsa dan produk digital lainnya, juga akan meningkat.
Namun, karena distribusi infrastruktur yang tidak merata di Indonesia, pemanfaatan produk digital dan distribusinya tidak kurang optimal. Oleh karena itu, MCAS mereposisi strategi bisnisnya menjadi distributor produk digital dengan penekanan pada empat saluran yakni wholesale, kasir, kios digital, dan aplikasi/chatbots.
Dalam laporan keuangan terbaru MCAS hingga triwulan III 2020, perusahaan mampu meraup laba bersih senilai Rp 17,87 miliar. Meski begitu laba bersih tersebut tercatat mengalami penurunan signifikan 81,3% dibandingkan dengan periode sama tahun lalu senilai Rp 95,57 miliar.
Padahal, pendapatan bersih MCAS mengalami kenaikan 10,32% secara yoy menjadi Rp 8,68 triliun. Namun, beban pokok pendapatan perusahaan memang ikut mengalami kenaikan 11,12% secara tahunan menjadi Rp 8,5 triliun.
Total beban usaha MCAS sebenarnya mengalami penurunan 11,32% secara tahunan menjadi Rp 73,89 miliar. Meski begitu, laba usaha perusahaan tercatat senilai Rp 102,04 miliar atau turun hingga 23,03% secara tahunan.
Laba bersih MCAS mengalami penurunan signifikan tersebut disebabkan beban lain-lain yang menggerus profitabilitas senilai Rp 21,23 miliar. Padahal, di periode yang sama tahun sebelumnya, membukukan penghasilan lain-lain senilai Rp 48,03 miliar.