Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melorot hingga 2,09% dipicu sentimen global dan dalam negeri. Sentimen negatif global datang dari naiknya imbal hasil obligasi AS dan dari dalam negeri terkait rencana BPJS Ketenagakerjaan atau Jamsostek yang berencana mengurangi komposisi investasi di instrumen saham dan reksa dana.
Pada perdagangan Rabu (31/3) siang ini sampai pukul 14.45 WIB, indeks saham merosot sampai 2,09% atau 126,82 poin ke level 5.944. IHSG dibuka di level 6.062 dengan volume perdagangan 12,55 miliar saham bernilai Rp 9,78 triliun dan frekuensi mencapai 987.489x.
Sebanyak 413 saham harganya merosot, sementara hanya 98 naik, dan selebihnya 119 saham stagnan. Investor asing pun juga melepas aset-asetnya di pasar saham Indonesia dengan catatan jual bersih (net sell) saham Rp 918,68 miliar di pasar reguler.
Analis Avrist Asset Management Billy Nugraha mengungkapkan IHSG semakin tertekan hingga menjelang akhir sesi karena kekhawatiran inflasi Amerika Serikat yang melebihi ekspektasi tercermin dari obligasi AS tenor 10 tahun yang terus mengalami kenaikan tren. Dampak dari kenaikan obligasi Amerika ini sangat besar bagi turunnya pasar saham global termasuk Indonesia.
Dari dalam negeri, tambahnya, investor lokal juga khawatir Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan menjual saham di bursa dan tercipta volatilitas lebih tinggi. Namun hal itu hanya sentimen negatif sesaat.
"Pagi ini naik 2% ke level 1.74%. Hal ini tentu berpotensi menambah tekanan terhadap pasar obligasi tanah air di mana pergerakan indo yield 10 tahun juga turut terkerek ke level 6.9% atau naik 1.35% dan bisa memicu investor asing untuk keluar dari pasar keuangan RI untuk sementara waktu," ujar Billy kepada Katadata, Rabu (31/3)
Menurut dia, dengan yield US Treasury yang semakin naik tentunya akan mendorong lebih banyak arus dana ke pasar keuangan AS. Hal itu juga sudah tercermin dari indeks dolar AS yang juga mengalami peningkatan atau trend naik.
"Jika kita liat dollar indeks sudah naik hampir 5% ke posisi 93,4 pagi ini dari level terendah ketika pandemi di kisaran 89," tuturnya.
Dia menilai hal itu merupakan indikasi bahwa adanya aliran dana kembali dari pasar negara berkembang, didukung oleh prospek pemulihan ekonomi yg lebih baik di AS daripada sebagian besar ekonomi di negara berkembang, termasuk Indonesia.
Analis Kiwoom Sekuritas Soekarno Alatas mengungkapkan sebenarnya tanpa harus mencari alasan, investor sudah mengetahui bahwa indeks akan mengalami penurunan.
Kalau sentimen negatifnya dari eksternal karena imbal hasil obligasi AS kembali meningkat, ini menjadi kekhawatiran pasar. Sedangkan sekarang juga minim sentimen positif. Di saat minim sentimen positif dan secara teknikal juga sudah masuk tren turun, jadi wajar mengalami turun dalam.