Banyak Nasabah Rugi, Bos Schroders Sebut Pentingnya Paham Unit Link

Adi Maulana Ibrahim|Katadata
Karyawan melintasi logo-logo perusahaan asuransi di Kantor Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), Jakarta, Rabu (30/9/2020).
Penulis: Ihya Ulum Aldin
Editor: Lavinda
14/4/2021, 16.44 WIB

Keluhan nasabah atas kerugian akibat membeli produk asuransi yang dikaitkan dengan investasi (PAYDI) alias unitlink, masih kerap terjadi. Praktisi keuangan menilai satu penyebab munculnya kasus di industri asuransi adalah rendahnya literasi masyarakat terhadap produk tersebut.

"Pemegang polis harus mengerti produk investasi. Perusahaan asuransi memberikan edukasi kepada pemegang polis karena mereka punya hak untuk investasi," kata Presiden Direktur PT Schroders Investment Michael Tjandra Tjoa dalam media gathering AAJI, Rabu (14/4).

Ia mengatakan calon pemegang polis harus tahu tentang produk unit link yang akan dibelinya, sebab tingkat risikonya berbeda-beda dari setiap instrumen. Untuk menjangkau literasi yang lebih luas, lembaga keuangan dan regulator harus terus mengambil peran agar tidak muncul perselisihan.

Menurut dia, jika nasabah masuk dan membeli polis asuransi yang berhubungan dengan investasi, lalu memilih masuk ke aset kelas saham, maka nasabah tersebut memiliki risiko yang tinggi. Pasalnya, fluktuasi di pasar modal merupakan hal yang lumrah terjadi. Hal terpenting, nasabah harus tahu kondisi berisiko tersebut.

"Dia akan menentukan dan bila salah investasi, beban tidak bisa disalahkan ke asuransi karena dia yang memegang hak ke mana investasikan," kata Michael Tjoa.

Sedangkan posisi agen penjual produk asuransi harus memberitahu kepada calon nasabah akan risiko-risiko yang dihadapi kala membeli unitlink. "Apabila pemegang polis tidak mengerti, mereka bisa bertanya, memperoleh edukasi," katanya melanjutkan.

Berdasarkan data yang dimilikinya, penempatan investasi perusahaan asuransi jiwa, mayoritas masih berada di pasar modal. Pada 2020 misalnya, dari total nilai investasi yang ditempatkan senilai Rp 504,8 triliun, mayoritas ditaruh pada reksa dana senilai Rp 165,88 triliun dan pada saham Rp 147,28 triliun.

Penempatan terbesar berikutnya pada instrumen Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp 85,41 triliun. Lalu pada sukuk korporasi senilai Rp 38,86 triliun dan pada deposito senilai Rp 35,98 triliun. Sisanya ditempatkan pada aset berupa bangunan dan tanah, penyertaan langsung, dan lain-lain.

Reporter: Ihya Ulum Aldin