Aturan Baru Sambut IPO Unicorn dan Hilangnya Momentum Bursa Global

ANTARA FOTO/REUTERS/Brendan McDermid/WSJ/dj
Brendan McDermid /WSJ/ Fasad depan gedung Pasar Bursa Saham New York (NYSE) terlihat di Kota New York, Amerika Serikat, Senin (29/3/2021).
Penulis: Lavinda
29/7/2021, 16.09 WIB

Bursa Efek Indonesia (BEI) menyusun aturan baru struktur permodalan saham kelas ganda (dual class share) dengan saham hak suara multipel atau multiple voting shares (MVS).  Hal itu dilakukan karena otoritas tak ingin kehilangan momentum menggali manfaat dari keberadaan unicorn yang ada di Tanah Air, seperti yang terjadi pada bursa Asia lain, yakni Singapura dan Hong Kong.

Aditya Nugraha, Kepala Unit Pengembangan Startup dan SME BEI mengatakan pembentukan aturan baru dilakukan karena otoritas bursa perlu beradaptasi dengan perkembangan model bisnis perusahaan saat ini. 

"Pasar modal Indonesia perlu beradaptasi dengan penerapan MVS. Hal ini bertujuan untuk mengantisipasi peningkatan suplai dan permintaan pasar modal dari perusahaan teknologi," ujar Aditya.

Dia menggambarkan, Singapore Stock Exchange (SGX) kehilangan momentum dengan tercatatnya SEA Ltd di New York Stock Exchange (NYSE). Pada Oktober 2017, induk usaha e-commerce Shopee itu melantai di bursa AS melalui skema American Depository Receipt (ADR) dengan nilai penawaran mencapai US$ 884,4 juta.

Baru pada Juni 2018 SGX membolehkan perusahaan menggunakan MVS. Kini, kapitalisasi pasar SEA Ltd tumbuh lebih dari 1.000% sejak tercatat, yakni US$ 115,48 miliar per Januari 2021.

Hong Kong Stock Exchange juga kehilangan pencatatan raksasa teknologi milik Jack Ma. Pada September 2014, Alibaba IPO di NYSE dengan skema ADR dan nilai penawaran US$ 21,8 juta. Baru pada April 2018 HKEX memberlakukan MVS dan listing ganda (secondary listing). November 2019, Alibaba akhirnya tercatat di bursa Hong Kong dengan senilai US$ 11 miliar.

"Kini Alibaba menjadi perusahaan berkapitalisasi pasar ke-3 terbesar di Bursa Hong Kong US$ 678,6 miliar," katanya.

Menurut dia, penerapan struktur dual class shares di bursa global masih sedikit. Di Asia, bursa yang menerapkan MVS di antaranya ialah Singapura, Jepang, Hong Kong, dan China. Selebihnya, NYSE dan Bursa Nasdaq di AS, Canada, Swiss, Jerman, Belanda, Australia, dan Afrika Selatan.

Sejumlah perusahaan teknologi global yang sudah menerapkan MVS antara lain, Airbnb, Facebook, Xiaomi Corporation, SEA Ltd, dan Alibaba Group Holding.

Di Singapura, MVS baru diterapkan pada 2018, dengan satu perusahaan tercatat, yang sebelumnya sudah tercatat di bursa AS. Sama seperti Singapura, Bursa Hong Kong juga memberlakukan MVS pada 2018 dengan 5 perusahaan yang pertama kali IPO, dan 7 perusahaan dari bursa AS.

Di Shanghai stock exchange China, aturan MVS berlaku pada 2018 untuk menyambut dua perusahaan. Sementara itu, aturan MVS di Bursa Shenzen China baru berlaku pada 2020 dan belum ada perusahaan yang IPO.

di Jepang, bursa Negeri Sakura sudah menerapkannya sejak 2008 dan merevisi pada 2014. Namun, hanya ada satu perusahaan yang tercatat dengan struktur tersebut.

Berdasarkan data BEI, nilai kapitalisasi pasar modal Indonesia bisa bertambah hingga Rp 553,9 triliun jika enam unicorn yang ada di Indonesia mencatatkan sahamnya di bursa nasional. Nilai itu tercatat 7,69% dari total kapitalisasi pasar yang ada saat ini sebesar Rp 7.279 triliun. Asumsi nilai kapitalisasi diperoleh dari perkiraan nilai valuasi terkini dan data kapitalisasi pasar per 16 Juli 2021.

"Manfaat bagi pasar modal jika unicorn IPO (initial public offering), salah satunya pottensi peningkatan nilai kapitalisasi pasar modal Indonesia sebesar Rp 553,9 triliun," ujar Aditya.

Dari 12 unicorn yang terdapat di kawasan Asia Tenggara, enam di antaranya berada di Indonesia. Aditya mengklaim Indonesia menjadi penghasil perusahaan unicorn terbanyak di kawasan ini "12 unicorn di Asia memiliki valuasi pre-IPO gabungan sebesar US$ 38,2 miliar," katanya.

Sejumlah perusahaan unicorn yang ada di Indonesia antara lain, Bukalapak, Traveloka, J&T Express, JD.id, dan OVO. Sementara itu, perusahaan gabungan antara Gojek Indonesia dan Tokopedia, GoTo, kini masuk ke dalam jajaran decacorn.

Di kawasan Asia Tenggara, terdapat 70 perusahaan centaur atau perusahaan rintisan (startup) dengan valuasi US$ 100 juta - US$ 1 miliar. Dari jumlah itu, sebanyak 39% atau 27 perusahaan di antaranya berasal dari Indonesia.