Perusahaan Properti Hong Kong Gagal Bayar, Indeks Hang Seng Anjlok

ANTARA FOTO/REUTERS/Tyrone Siu/ama/cf
Tyrone Siu Seorang pria memakai masker pelindung saat ia berjalan melewati layar yang menampilkan harga saham Hang Seng Index saat perdagangan pagi, menyusul penyebaran virus korona (COVID-19), di Hong Kong, China, Jumat (13/3/2020).
Penulis: Lavinda
20/9/2021, 14.56 WIB

Perusahaan raksasa bidang properti Hong Kong, China Evergrande diperkirakan mengalami gagal bayar pada pembayaran bunga pekan ini. Hal itu menyebabkan saham properti di Bursa Hong Kong anjlok dan menyeret Indeks Hang Seng merosot hingga 4% pada Senin (20/9). 

Dikutip dari The Straits Times, salah satu pengembang terbesar di Hong Kong berada di ambang kehancuran karena tumpukan utang lebih dari US$ 300 miliar atau setara Rp 2.437 triliun (Asumsi kurs: Rp 14.246/US$). Hal itu meningkatkan kekhawatiran guncangan ke ekonomi domestik, bahkan global.

Kondisi itu telah memicu protes para investor dan pemasok di luar kantor perusahaan di beberapa kota di China. Beberapa di antaranya menuntut dana mereka kembali sebanyak US$ 1 juta.

Pada akhir pekan ini, enam eksekutif puncak akan menghadapi persoalan besar karena menebus produk keuangan sebelum memberi tahu investor ritel bahwa perusahaan tidak dapat membayarnya tepat waktu.

Kondisi tersebut membuat saham perusahaan anjlok hingga 17 % pada hari ini, dan semakin menambah penurunan harga saham yang sudah mencapai 90% dari awal tahun.

Saham perusahaan properti lain, Henderson Land dan New World Development juga merosot masing-masing sekitar 12%, sedangkan saham properti Sun Hung Kai turun 9%.

Sementara itu, raksasa asuransi Ping An kehilangan harga saham 8%. Saham China Minsheng Bank, Agricultural Bank of China, dan Industrial and Commercial Bank of China seluruhnya turun sekitar 3% hingga 5%. Gerak saham sejumlah perusahaan raksasa menyeret Indeks Hang Seng turun lebih dari 4%.

Analis Bocom International Holdings Philip Tse mengatakan kurangnya respons dari Beijing dan liburan di China hanya menambah ketidakpastian.

"Akan ada penurunan lebih lanjut, kecuali para pemimpin memberikan sinyal yang jelas tentang Evergrande atau mengurangi tindakan kerasnya pada sektor real estat," kata Tse dikutip dari The Straits Times, Senin (20/9).

Perhatian sekarang tertuju pada pembayaran kembali utang China Evergrande, dengan bunga pinjaman bank dan dua obligasi yang jatuh tempo pada pekan ini.

Salah satu kreditur yang dikutip oleh perusahaan keuangan China Caixin Global Monday memperkirakan ada 99,99% kemungkinan Evergrande tidak akan dapat membayar bunga yang jatuh tempo pada kuartal III 2021.

Pada akhir Juni, pengembang properti memiliki total kewajiban hampir 2 triliun Yuan. Jumlah ini kira-kira setara dengan dua% dari Produk Domestik Bruto (PDB)  China.

Tumpukan utang raksasa membantu mendorong ekspansi besar-besaran Evergrande, yang dimulai dengan ledakan properti tahun 1990-an. Hal ini berlangsung hingga Beijing beralih memangkas pertumbuhan leverage di sektor properti dengan memperkenalkan pembatasan pada 2020.

Meskipun sebagian besar bergerak di bidang real estat, China Evergrande juga memulai diversifikasi bisnis dengan membeli klub sepak bola Guangzhou FC, membuka taman hiburan, dan mendirikan air mineral Evergrande Spring. Perusahaan juga berinvestasi dalam bidang pariwisata, operasi digital, asuransi, dan kesehatan.

Kendati demikian, bisnis perusahaan menjadi tidak stabil ketika China menindak pengembang dalam upaya untuk memaksa mereka melepaskan utang. Pemerintah menetapkan larangan menjual properti sebelum bangunan selesai.