Pemerintah berencana mengarahkan perdagangan sekunder karbon (carbon trading) di Bursa Efek Indonesia (BEI). Untuk itu, BEI bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah menyiapkan kerangka aturan dan infrastrukturnya.

"Kami di pasar modal tentu menyiapkan kalau regulasinya ke arah sana," kata Kepala Departemen Pengawasan Pasar Modal 1A OJK Luthfi Zain Fuady dalam jumpa pers, Kamis (9/12).

Perdagangan emisi karbon merupakan bentuk perdagangan emisi yang dengan khusus menargetkan karbon dioksida dalam satuan ton dan sudah menjadi perdagangan emisi terbesar. Perdagangan tersebut bekerja dengan menetapkan batas secara kuantitatif yang dihasilkan oleh penghasil emisi.

Melalui program ini, suatu negara yang memproduksi emisi karbon lebih banyak dapat mengeluarkan emisi tersebut dari negaranya. Sedangkan negara yang memiliki emisi lebih sedikit bisa menjual hak menghasilkan emisi sesuai batasnya ke negara atau wilayah lainnya.

Luthfi mengatakan, OJK tengah mempersiapkan infrastruktur regulasinya. Dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon yang mengatur tentang pasar karbon, tidak dijelaskan siapa yang akan menyelenggarakan perdagangan di pasar sekundernya.

Meski begitu, Luthfi melihat arah kebijakan pemerintah adalah menyerahkan kepada BEI. "Kalau memang kebijakan pemerintah mengarahkan ke pasar modal, mau-tidak mau kami mesti siap," katanya.

OJK dan BEI juga tengah menyiapkan infrastruktur perdagangannya dengan mengembangkan dari yang sudah ada saat ini. Kalaupun akhirnya perdagangan karbon tidak ada di BEI, infrastruktur juga tetap bisa digunakan untuk perdagangan sekunder.

"Dari sisi pasar modal, tentunya siap kalau misalnya nanti suatu saat policy pemerintah mengarahkan kepada pasar modal untuk perdagangan karbon," kata Luthfi.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Utama BEI Inarno Djajadi mengatakan BEI dan OJK sedang bergelut menyiapkan perdagangan karbon. Dengan adanya perdagangan karbon, BEI akan berkontribusi terhadap pencapaian Indonesia dalam Nationally Determined Contribution (NDC).

NDC atau Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional adalah dokumen yang berisi komitmen sebuah negara dalam aksi iklim. Komitmen ini disampaikan kepada dunia melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa bagian Perubahan Iklim alias United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). "Perdagangan karbon merupakan bagian dari mekanisme untuk mencapai NDC Indonesia," kata Inarno.

Menurut dia, dalam beberapa kali pertemuan memang ada arahan agar BEI menyelenggarakan perdagangan karbon. Meski begitu, BEI belum bisa mematok kapan bisa memulai perdagangan tersebut. Yang jelas, instansinya akan berperan dalam  membantu target dari NDC tersebut.

Infografik_Strategi Mitigasi Iklim Sektor Hutan dan Lahan (Katadata)

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto meminta BEI untuk mempersiapkan skema perdagangan karbon di dalam negeri. Pengembangannya dilakukan bersama Kementerian Keuangan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

"BEI perlu mempersiapkan terkait dengan karbon trading yang juga dipersiapkan oleh Menteri Keuangan (Sri Mulyani) bersama Ibu KLHK (Siti Nurbaya Bakar)," kata Airlangga dalam CEO Networking 2021, Selasa (16/11).

Seperti diketahui, Pemerintah telah menetapkan strategi mitigasi iklim melalui NDC yang telah diperbaharui pada September 2021 lalu. Target untuk mengurangi emisi karbon sebesar 29% melalui upaya sendiri pada 2030 dan 42% dengan bantuan internasional.

Dokumen NDC terbaru ini akan digunakan untuk mendukung target pemerintah dalam pembangunan rendah karbon dan mewujudkan netral karbon pada 2060.

Seperti diketahui, Badan Energi Internasional (IEA) menargetkan emisi karbon dioksida (CO2) hilang sepenuhnya pada 2050. Karena itu, total emisi ini akan terus ditekan dari 33,9 gigaton (Gt) pada 2020 hingga tiga puluh tahun mendatang.