Bursa saham domestik masih tetap melaju di teritori hijau kendati menghadapi sentimen kenaikan suku bunga acuan dari bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve dan Bank Indonesia (BI).
Sebagaimana diketahui, The Fed pada September ini mengerek suku bunga acuan sebesar 75 basis poin. Kemudian, BI juga menaikkan suku bunganya sebesar 50 basis poin menjadi 4,25%. Sentimen ini justru membuat IHSG bergerak menguat 0,43% ke level 7.218,90 menjelang berakhirnya perdagangan hari ini.
Head of Trading Treasury & Markets Bank DBS, Ronny Setiawan, menyampaikan pelaku pasar melihat bahwa IHSG masih akan positif dibanding negara lain. Menurutnya, pergerakan IHSG di bursa Indonesia masih akan kuat karena ditopang oleh komoditas energi.
" Kalau kita lihat (indeks) S&P 500 semua sudah lower, kecuali satu sektor yaitu sektor energi," katanya di Jakarta, Kamis (22/9).
Selain sektor energi, katanya, pertahanan IHSG juga ditopang oleh sektor komoditi dan khususnya perbankan. Menurut Ronny, saat ini kondisi perbankan sudah mulai membaik karena pemulihan ekonomi di Indonesia sudah mulai berjalan. Di samping itu, kualitas aset perbankan juga membaik. "Jadi makanya so far so good for IHSG, kami belum melihat impact dari suku bunga yang naik," katanya.
Di kesempatan yang sama, Ekonom Senior Bank DBS, Radhika Rao, memprediksi akan adanya kenaikan suku bunga sampai 50 bps oleh Bank Indonesia. Prediksi tersebut bertepatan dengan agenda rapat penguman keputusan kondisi suku bunga pada rapat Dewan Gubernur BI hari ini. "Kemungkinan mereka menaikkan suku bunga menjadi 50 bps," katanya.
Dirinya menyampaikan kondisi kenaikan suku bunga acuan yang diperkirakan 50 basis poin oleh BI akan memberi tekanan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. "Pengumuman The Fed yang hawkish, akan berpengaruh terhadap sikap bank sentral di regional, nilai mata uang akan semakin tertekan," katanya.
DBS Group Reaserch mengatakan bahwa tahun 2022 akan menandai tahun kedua berturut-turut surplus transaksi berjalan yaitu naik 0,2% dari PDB dengan bias naik. Hal tersebut menjadi pertanda positif bagi stabilitas eksternal dan prospek mata uang. memasuki 2023, penurunan harga komoditas dan peningkatan impor diperkirakan akan mendorong defisit tipis neraca transaksi berjalan.
Arus pembiayaan, yaitu arus kas akan beragam tahun ini. Investasi asing meningkat secara stabil. Kondisi ini diharapkan dapat menjaga kelancaran neraca pembayaran secara keseluruhan tetap terkendali.
Adapun, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut dampak langkah The Fed terhadap risiko outflow atau keluarnya modal asing sebetulnya sudah diperhitungkan. "Proyeksi terhadap suku bunga The Fed yang bisa mencapai di atas 4% tahun depan sudah dimasukkan dalam perkirakan dinamika capital outflow," kata Sri Mulyani saat ditemui di Kompleks Parlemen, Kamis (22/9).
Berdasarkan data Bank Indonesia, aliran modal asing telah keluar dari pasar keuangan domestik Rp 66,82 triliun sejak awal tahun sampai 15 September 2022. Ini terdiri atas keluarnya modal asing di pasar Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 141,14 triliun dan masuknya modal asing di pasar saham sebesar Rp 74,32 triliun.