Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memprediksi resesi ekonomi global akan terjadi setidaknya pada tahun depan, atau bahkan bisa lebih cepat dari tahun 2023.
"Saya rasa memang paham bahwa resesi ekonomi global hampir pasti akan terjadi setidaknya di tahun 2023, kalau tidak lebih cepat dari itu," ujar Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar dalam Konferensi Pers usai Rapat Dewan Komisioner Bulanan OJK, Senin (3/10).
Kendati demikian, menurut dia, hal yang belum dapat diperkirakan dengan baik adalah, dalam kondisi seberapa berat dan seberapa lama resesi ekonomi tersebut akan terjadi.
Di sisi lain, regulator industri keuangan ini menilai perekonomian Indonesia pada tahun ini dan tahun depan akan tumbuh pada tingkat yang tidak jauh berbeda, yakni di atas 5%.
Oleh karena itu, masyarakat, terutama pelaku industri perlu melihat dua kondisi perekonomian tersebut dalam perspektif yang lengkap. Artinya, dengan pertumbuhan yang signifikan, maka perekonomian Indonesia berpotensi dapat terjaga di tengah kondisi resesi ekonomi global.
"Saat ini, OJK dalam konteks spesifik belum bisa menyebutkan seperti apa dan bagaimana, dan apa yang dibutuhkan, tetapi kami bisa sampaikan bahwa upaya kami menjaga ekonomi berkelanjutan dan sasaran yang ditetapkan oleh pemerintah," tegas Mahendra.
Dia memaparkan, OJK akan berupaya terus menjaga perekonomian Indonesia, terutama melalui sektor jasa keuangan yang turut berperan mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi nasional. Salah satu upaya yang akan dilakukan ialah menerbitkan kebijakan-kebijakan yang dapat menjaga, melindungi, sekaligus mendorong pertumbuhan industri keuangan nasional.
Dalam kesempatan yang sama, Mahendra menilai stabilitas sistem keuangan terjaga dan kinerja intermediasi lembaga jasa keuangan membaik.
Hal ini berkontribusi terhadap berlanjutnya pemulihan ekonomi nasional di tengah pelemahan ekonomi dan inflasi global yang tinggi, pengetatan kebijakan moneter yang agresif, dan peningkatan tensi geopolitik yang berkepanjangan.
Sebagai respons dari peningkatan tekanan inflasi, bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve (The Fed) menaikkan suku bunga kebijakan atau policy rate dan berencana mempercepat laju pengetatan kebijakannya meski kebijakan tersebut dapat menyebabkan penurunan laju pertumbuhan ekonomi.
Prospek Ekonomi Indonesia Naik di Tengah Potensi Resesi Global
Stance kebijakan moneter ini dilakukan oleh mayoritas bank sentral global, termasuk Bank Indonesia yang menaikkan BI7DRR sebesar 50 bps. Hal ini mendorong kekhawatiran resesi global meningkat, sehingga lembaga internasional seperti Bank Dunia, ADB, dan OECD menurunkan prospek pertumbuhan ekonomi global.
Di tengah revisi ke bawah prospek pertumbuhan global, prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia masih dinaikkan di tahun 2022 seiring dengan masih tingginya harga komoditas dan terkendalinya pandemi.
Indikator perekonomian terkini juga mengkonfirmasi berlanjutnya kinerja positif perekonomian Indonesia, antara lain terlihat dari neraca perdagangan yang melanjutkan surplus, Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur di zona ekspansi, dan indeks kepercayaan konsumen yang tetap optimis.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan perekonomian Indonesia menurut besaran Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku (ADHB) mencapai Rp 4,92 kuadriliun pada kuartal II 2022.
Sementara menurut PDB atas dasar harga konstan (ADHK) 2010, ekonomi Indonesia mencapai Rp 2,93 kuadriliun pada kuartal II 2022, tumbuh 3,72% dibanding kuartal sebelumnya.
Jika dibandingkan dengan kuartal II 2021, ekonomi domestik tumbuh 5,44% secara tahunan. Angka ini sudah melampaui tingkat pertumbuhan pra-pandemi tahun 2019, seperti terlihat pada grafik.
Menurut Kepala BPS Margo Yuwono, di tengah tekanan inflasi dan ancaman resesi global, ekonomi Indonesia yang mampu tumbuh impresif ini menandakan tren pemulihan ekonomi terus berlanjut dan semakin kuat.
Kepala BPS Margo Yuwono juga menjelaskan, kinerja ekonomi Indonesia sepanjang kuartal II 2022 dipengaruhi oleh faktor domestik dan global.
Secara global, gangguan rantai pasokan dunia berdampak pada kenaikan harga komoditas unggulan Indonesia dan memberikan windfall terhadap kinerja ekspor.
Secara domestik, pelonggaran pembatasan mobilitas penduduk dan momen hari raya Idul Fitri mendorong ekspansi konsumsi masyarakat sekaligus menjadi stimulus peningkatan suplai.
"Kebijakan subsidi dan bantuan sosial serta pengekangan suku bunga cukup efektif dalam mengendalikan inflasi domestik, menjaga daya beli masyarakat, dan menjaga kondisi dunia usaha tetap kondusif," kata Kepala BPS dalam konferensi pers daring, Jumat (5/8).