Analis obligasi menyarankan para investor untuk mengoleksi surat utang dengan tenor panjang di tengah ancaman resesi ekonomi global yang berpotensi terjadi pada 2023 mendatang.
Fixed Income Research PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Dhian Karyantono menilai hal tersebut mempertimbangkan kondisi imbal hasil yang cenderung mendatar (bear flattening) dan berpotensi berbalik (inverted). Menurut dia, pada 2023, pelaku pasar melihat akan terjadi resesi ekonomi di sejumlah negara besar, seperti Amerika Serikat (AS), Eropa, dan Inggris.
“Bahkan leading economic indicator (indikator ekonomi terkemuka) di bawah level 100 poin, ini akan terjadi perlambatan ekonomi di negara-negara maju yaitu, AS, Eropa, dan Inggris,” kata Dhian Karyantono, dikutip Rabu (12/10).
Pada Oktober ini, Dhian menyarankan para investor untuk menilik obligasi pemerintah yang berdenominasi dolar AS dan memiliki tenor di atas 20 tahun.
Menurut dia, ketika resesi benar-benar terjadi, maka hal pertama yang akan terjadi adalah pelemahan mata uang negara berkembang. Selanjutnya, investor akan berinvestasi ke aset dolar AS atau safe haven setidaknya sampai awal tahun.
Obligasi Korporasi Rupiah Lebih Menarik dari Obligasi Valas
Dhian mengatakan, obligasi korporasi relatif lebih dapat bertahan di tengah tingginya volatilitas. Kendati demikian, kondisi imbal hasil surat utang negara yang datar mendorong obligasi korporasi dengan tenor panjang kisaran di atas 15 tahun cenderung menarik.
Jika investor ingin berfokus pada obligasi korporasi, Dhian menyarankan untuk mengoleksi obligasi rupiah.
"Saya tidak melihat obligasi dolar menarik, karena lebih kepada risiko yang akan terjadi pada 2023. Maka itu, saya sarankan investor untuk mengambil obligasi berdenominasi rupiah,” kata Dhian.