Sri Mulyani Sebut 2022 Tahun Brutal Tapi Bursa Saham RI Resilient
Nilai kapitalisasi bursa saham dan obligasi global telah merosot puluhan triliun dolar sepanjang tahun lalu. Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan kinerja bursa saham di dalam negeri masih cukup resilient saat pasar global menghadapi situasi brutal tersebut.
"Seperti yang disampaikan oleh Ketua Dewan Komisioner OJK, tahun 2022 dalam semua berita pada 31 Desember lalu menyebut bahwa bursa-bursa negara maju, disebutkan tahun 2022 adalah tahun yang sangat brutal," ujarnya dalam sambutannya pada pembukaan perdagangan Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2023 di Gedung BEI, Jakarta, Senin (2/1).
Bendahara negara itu mengatakan, investor global bukannya untung melainkan kehilangan nilai asetnya sepanjang tahun lalu. Mengutip Financial Times, indeks MSCI All Country World Index, pasar ekuitas negara maju dan berkembang telah kehilangan seperlima dari nilainya pada tahun lalu. Penurunan itu bahkan terbesar sejak 2008. Penurunan signifikan terjadi pada saham Wall Street hingga Shanghai dan Frankfurt. Secara total, saham dan obligasi global kehilangan lebih dari US$ 30 triliun atau lebih dari Rp 460 ribu triliun.
Kinerja jeblok pasar ekuitas global tersebut berbanding terbalik dengan kondisi di dalam negeri yang justru lebih baik. BEI mencatat kenaikan nilai kapitalisasi pasar sebesar 15% pada tahun lalu ke level US$ 550 miliar atau lebih dari Rp 9.500 triliun.
"Menutup tahun 2022 dengan sangat resilient dengan tantangan yang sungguh tidak mudah, ini adalah bekal yang bagus untuk memasuki 2023," kata Sri Mulyani.
Meski demikian, 2023 menurutnya akan menjadi tahun ujian bagi pasar global. Tantangan yang dihadapi antara lain upaya mengendalikan inflasi global dan mencegah terjadinya resesi. Di sisi lain, pemerintah terus mendukung proses pemulihan ekonomi pasca pandemi.
Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar dalam acara yang sama membeberkan sejumlah capaian positif bursa saham Indonesia tahun lalu saat dunia justru turun. Ia membandingkan dengan suasana penutupan perdagangan di bursa saham Eropa yang disebutnya dalam suasana brutal.
"Tiga hari lalu kita juga menutup BEI, kata kuncinya adalah brutal dalam berita-berita, karena dikatakan pasar Eropa turun disebabkan kondisi yang brutal akibat perang di Ukraina, inflasi yang tinggi dan kebijakan moneter yang ketat," ujarnya.
Indeks European Stoxx 600 ditutup melemah 12,76% dibandingkan posisi akhir tahun 2020. Ini merupakan kinerja terburuk sejak penurunan pada 2018. Di samping itu, tahun 2023 juga menantunya tidak lebih baik bagi benua biru karena kawasan tersebut menghadapi tantangan pengetatan moneter yang masih berlanjut.
Mahendra mengatakan Indonesia patut bersyukur dengan kinerja positif pada tahun lalu saat Eropa justru menghadapi tantangan yang mencekam. Kinerja pasar saham Indonesia dinilai juga cukup positif dibandingkan negara-negara Asia lainnya.
Ia membeberkan, IHSG ditutup meningkat 4% sepanjang tahun lalu. Aktivitas perdagangan tahun lalu juga naik signifikan, frekuensi transaksi harian bahkan mencapai 1,31 juta, yang terbesar di ASEAN.
"Kapitalisasi pasar tertinggi mencapai Rp 9.500 triliun, artinya 50% terhadap PDB Indonesia," kata Mahendra.