IPO di Asia Tenggara Capai Rp 49 Triliun, 70% Berasal dari Indonesia

ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/foc.
Ilustrasi. Pasar IPO di Asia Tenggara menjadi favorit investor dengan meraup dana IPO US$ 3,3 miliar pada semester I 2023 di saat IPO bursa global melambat.
Penulis: Syahrizal Sidik
9/7/2023, 10.29 WIB

Deloitte menerbitkan riset teranyar mengenai pasar penawaran umum perdana saham (initial public offering/IPO). Menariknya, pasar IPO di kawasan Asia Tenggara menjadi favorit investor di tengah terjadinya perlambatan IPO global pada paruh pertama tahun 2023.

Dalam enam bulan terakhir, terdapat 85 perusahaan yang melakukan aksi korporasi IPO dan mengumpulkan dana $ 3,3 miliar atau setara Rp 49,9 triliun dengan asumsi kurs Rp 15.151 per dolar AS, yang mana 70% penawaran umum berasal dari perusahaan asal Indonesia. Bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, jumlah IPO di kawasan ini sebanyak 73 dan meraup dana $ 3,1 miliar.

Terdapat kenaikan 16% dari sisi jumlah perusahaan yang melakukan IPO dan peningkatan pendapatan 5% dana penawaran umum untuk paruh pertama tahun 2023.

“Prospek pertumbuhan positif Asia Tenggara menjadikan kawasan ini favorit investor karena terus masuknya investasi asing langsung karena kawasan itu dibuka kembali, pemulihan industri pariwisata, dan permintaan domestik yang melonjak,” tulis laporan Deloitte, seperti dikutip dari CNBC International, Minggu (9/7).

"Faktor-faktor ini telah berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi yang positif di kawasan ini meskipun ada ketidakpastian ekonomi global.”

Peningkatan tersebut sebagian besar disebabkan oleh tiga IPO di Indonesia yang masing-masing mengumpulkan lebih dari US $500 juta, dibandingkan tahun lalu dengan IPO bernilai jumbo bernilai US$ 1 miliar tapi hanya dari satu perusahaan yakni PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk GOTO).

Sementara itu, bursa Nasdaq yang padat teknologi di Amerika Serikat belum melihat IPO teknologi terkemuka yang didukung oleh perusahaan sejak debut Desember 2021 vendor perangkat lunak HashiCorp. Melambatnya IPO global bertahan hingga paruh pertama tahun 2023, dengan IPO 5% lebih sedikit dibandingkan dengan waktu yang sama tahun sebelumnya, menurut laporan EY.

Indonesia tercatat memberi andil terbesar dari sisi raihan penawaran umum di regional. Terdapat beberapa perusahaan yang meraup dana IPO jumbo, yakni PT Trimegah Bangun Persada Tbk Rp 10 triliun, perusahaan mineral dan bahan baterai EV PT Merdeka Battery Materials Tbk Rp 8,74 triliun dan operator pembangkit listrik tenaga panas bumi PT Pertamina Geothermal Energy Tbk Rp 9,06 triliun.

Presiden Indonesia Joko Widodo sebelumnya memperkenalkan langkah-langkah untuk memposisikan Indonesia sebagai pusat rantai pasokan kendaraan listrik global, termasuk menandatangani kesepakatan dengan Australia untuk berkolaborasi dalam produksi utama EV mineral lithium dan nikel.

“Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia dan IPO Harita Nickel (PT Trimegah Bangun Persada Tbk) baru-baru ini merupakan ukuran yang baik dari minat investor lokal dan internasional,” kata Deloitte.

Deloitte mencatat, Indonesia kedatangan 44 emiten baru pada kuartal pertama 2023. Sedangkan, bursa Thailand dan Malaysia mengikuti dengan masing-masing 18 dan 16 perusahaan.

Perusahaan penasihat keuangan dan akuntan publik global ini juga menyorit, pasar modal regional masih punya banyak peluang yang menarik seiring kebijakan pro-pertumbuhan masing-masing negara, ekonomi makro yang stabil, dan demografi Asia Tenggara yang sehat, ditambah dengan dampak pertumbuhan wirausahawan yang mendukung teknologi terhadap investasi, dan hubungan perdagangan yang kuat dengan Tiongkok. 

Deloitte tetap optimis namun hati-hati tentang prospek kawasan Asia Tenggara pada paruh kedua tahun ini. “Masih harus dilihat bagaimana Asia Tenggara akan keluar dari badai dalam pemulihan ekonominya." Ketidakpastian seperti kenaikan suku bunga, masalah di sektor perbankan serta inflasi terus mengguncang perekonomian.

Dana Moneter Internasional memperkirakan pertumbuhan Asia Tenggara akan melambat dari 5,7% pada tahun 2022 menjadi 4,6% pada tahun 2023. Organisasi tersebut mengutip sedikit moderasi dalam permintaan domestik untuk Malaysia dan Thailand, penurunan harga komoditas di Indonesia dan Malaysia serta permintaan eksternal yang lebih lemah dari AS dan Eropa.