Prospek Saham Menara di Semester Kedua, Berikut Rekomendasi Broker

Telkom
Ilustrasi menara telekomunikasi
Penulis: Syahrizal Sidik
3/10/2023, 18.14 WIB

Sejumlah perusahaan sekuritas masih menempatkan rekomendasi beli terhadap sejumlah saham emiten menara telekomunikasi di semester kedua tahun ini. Saham emiten menara dinilai mempunyai prospek tidak terlepas dari alokasi belanja modal jumbo tiga perusahaan menara untuk ekspansi anorganik, termasuk memperbesar bisnis fiber optik.

Pasalnya, bila melihat pada data terbaru mengenai tingkat penetrasi internet di Indonesia saat ini sudah mencapai 78,19%, setara 215 juta dari seluruh populasi 275 juta jiwa. Namun, yang baru terlayani jaringan fiber optik baru 30% saja di seluruh wilayah di Indonesia menurut laporan Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi (Apjatel).

Tidaklah mengherankan, di tahun ini, ketiga emiten menara telekomunikasi merogoh belaja modal besar seperti PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk (TBIG) Rp 7 triliun untuk menggenjot ekspansi. Kemudian, PT Tower Bersama Infrastructure (TBIG) mengucurkan Rp 3 triliun dan PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR) sebesar Rp 6 triliun.

Merujuk data Hots Mirae Asset Sekuritas, dari 17 perusahaan sekuritas, sebanyak 15 broker merekomendasikan beli MTEL dengan rata-rata target harga Rp 926 per saham. Ini mencerminkan potensi kenaikan 37.19% dengan asumsi harga Rp 675. 

Kemudian, dari 13 perusahaan sekuritas lainnya juga turut merekomendasikan beli saham emiten menara Grup Saratoga, TBIG dengan rata-rata di level Rp 2.231. Potensi kenaikannya mencapai 13,25% dari harga saat ini. 

Terakhir, sebanyak 11 dari 17 perusahaan sekuritas juga merekomendasikan beli saham emiten menara Grup Djarum, TOWR di harga Rp 1.390 atau bisa mengalami kenaikan 43% dari harga yang sekarang. 

Analis Bahana Sekuritas Jason Chandra dan Tarra Laurentia menyatakan lebih menyukai Mitratel karena ditopang oleh faktor stabilitas keuangan karena komitmen pesanan dari Telkomsel sebagai perusahaan yang terafiliasi. Kedua, skala bisnis fiber optik yang terus meningkat akan menjadi pertanda baik bagi pertumbuhan margin dalam jangka panjang.

"Menurut kami sangatlah penting untuk memantau perkembangan terkait pembentukan InfraCo dan apakah dapat menjadi katalisator yang signifikan," ujar Jason, dikutip Selasa (3/10).

Bahana menilai, penggerak utama MTEL masih berupa penyewaan dengan target penambahan 5.500 penyewa pada 2023, atau tumbuh 11% secara tahunan. Sebagian besar dari penambahan tenan ini berasal dari Telkomsel dengan skema build to suit. Dia melihat akan ada penambahan tenan dari XL Axiata yang terus memperluas jangkauan melalui sistem kolokasi.

Selain itu, dari bisnis fiber optic (FTTT), Bahana meyakini bisnis ini dapat meningkatkan marjin EBITDA Mitratel setelah bisnisnya bertumbuh dalam skala besar. "Saat ini, segmen FTTT memberikan kontribusi 2% terhadap pendapatan, dengan total panjang serat sebesar 27 km dan rasio pemanfaatan pada 1,1 kali," ujarnya.

Bahan melanjutkan, Mitratel masih melihat pertumbuhan fiber masih panjang dan memperkirakan pasar hanya akan mencapai kematangan ketika tingkat fiberisasi jaringan seluler mencapai sekitar 90% dibandingkan 50-60% pada akhir semester I-2023.

"Fiber adalah bisnis skala besar yang memiliki ruang minimal untuk persaingan pangsa pasar, sehingga menyiratkan adanya keunggulan sebagai penggerak pertama yang signifikan," ujarnya.

Bahana Sekuritas menargetkan harga saham MTEL bisa menembus Rp870 setahun ke depan yang mencerminkan potensi kenaikan sekitar 28% dari harga saat ini. Sedangkan, di akhir tahun nanti, pendapatan diproyeksikan menembus Rp 8,95 triliun, dengan EBITDA Rp7,16 triliun. Adapun, laba bersih 2023 diproyeksi mencapai Rp2,14 triliun.

Pada Selasa ini, harga saham MTEL ditutup di level Rp 675 setiap saham dengan nilai kapitalisasi pasar Rp 56,38 triliun. Kemudian, saham TBIG terkoreksi 1,25% ke level Rp 1.970 per saham dengan kapitalisasi Rp 44,63 triliun. Sedangkan, saham TOWR naik 1,04% ke posisi Rp 970 dengan kapitalisasi pasar Rp 49,48 triliun.