Saham perusahaan raksasa kopi, Starbucks atau SBUX pecahkan rekor kerugian dengan kapitalisasi pasarnya merosot hampir US$ 12 miliar atau setara Rp 186,50 triliun (kurs Rp 15.542) pada Senin (4/12) lalu.
Tak hanya itu, saham Starbucks juga anjlok 1,6% di hari yang sama atau menurun selama 11 sesi berturut-turut. Momen ini merupakan penurunan terpanjang sejak debut publik Starbucks di Bursa AS pada 1992.
Starbu
Secara keseluruhan, kemerosotan ini telah menghapus 9,4% dari nilai pasar Starbucks atau turun sebanyak hampir US$ 12 miliar.
Hal itu disebabkan karena aksi boikot merek-merek yang dianggap Pro Israel dan kekhawatiran tren penjualan Starbucks yang telah menurun selama beberapa tahun terakhir.
Analis JPMorgan Chase & Co, John Ivankoe dalam sebuah catatannya pada Senin (4/12) lalu, menyebut bahwa data penjualan dari pihak ketiga menunjukkan adanya "perlambatan yang signifikan" dalam performa penjualan Starbucks pada November. Hal itu terjadi setelah perusahaan kopi besar ini berhasil mencatatkan pertumbuhan penjualan yang kuat sebesar 8% selama kuartal keempat fiskal.
Ivankoe telah menurunkan proyeksi penjualan kuartal pertama di AS menjadi pertumbuhan sebesar 4% dari tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh hasil promosi liburan Natal yang kurang sukses jika dibandingkan dengan keberhasilan acara Pumpkin Spice Latte pada musim gugur.
“Diperkirakan akan terjadi lonjakan penjualan sebesar 6% per kuartal di toko-toko domestik,” kata Ivankoe dikutip Bloomberg pada Kamis (7/12).
Sedangkan pada awal November, saham Starbucks menguat usai laporan keuangannya melampaui perkiraan sehingga optimis untuk penjualan tahun fiskal 2024. Namun, kata Ivankoe, saham tersebut kini telah merosot selama dua minggu terakhir di tengah kekhawatiran tentang data pertumbuhan ekonomi Cina yang lambat dan tren penjualan yang memberikan peringkat overweight pada saham Starbucks.
Tak hanya itu, Analis Wedbush Securities Inc, Nick Setyan mengatakan, investor khawatir bahwa penjualan di AS mungkin tidak memenuhi ekspektasi konsensus untuk kuartal ini karena data dari kartu kredit menunjukkan adanya perlambatan dalam tiga minggu terakhir. Setyan memberikan peringkat netral untuk Starbucks dan menyebut saham ini sebagai salah satu yang paling responsif terhadap tanda-tanda melemahnya konsumen.
Menurut perusahaan riset berbasis data, M Science menyampaikan, tren penjualan di industri makanan ringan dan kopi telah melambat dari minggu ke minggu selama periode tujuh hari hingga 19 November.
“Perlambatan penjualan didorong oleh tren yang lebih lembut di Starbucks” tulis Analis Matthew Goodman dalam sebuah catatan pada 1 Desember.
Dengan demikian, ini menunjukkan bahwa selama tiga minggu terakhir, ada penurunan aktivitas yang berlangsung secara terus-menerus di tengah boikot dan mogok kerja. Termasuk peristiwa pada Hari Piala Merah pada 16 November, yang berdampak pada sekitar 200 lokasi di Amerika Serikat.