Analis Ungkap Penyebab BBCA, BMRI, dan BBNI Cetak Rekor All Time High

ANTARA FOTO/Galih Pradipta/aww.
Karyawan melintas di samping layar elektronik yang menunjukkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat (9/9/2022). Perdagangan IHSG ditutup menguat 10,64 poin atau 0,15 persen ke posisi 7.242,66.
4/1/2024, 17.35 WIB

Tiga emiten bank kakap Indonesia, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), hingga PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) berhasil mencetak rekor tertingginya alias all time high (ATH) pada perdagangan saham sore ini, Kamis (4/1).

Berdasarkan data RTI Business, BBCA menutup perdagangan di harga tertinggi Rp 9.475 per lembar saham atau menguat 1,34%. Tak hanya itu kapitalisasi pasarnya tembus mencapai Rp 1.168 triliun. 

Kemudian BMRI meroket 4,92% bahkan sempat menyentuh batas tertingginya hingga Rp 6.400 per saham jelang penutupan. Kapitalisasi BMRI juga terkerek menjadi Rp 592,67 triliun.

Tak hanya itu, BBNI juga sempat melesat 5,61% ke level Rp 5.650 per saham jelang penutupan. Kapitalisasi pasarnya mencapai Rp 208,86 triliun.

Sedangkan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) hampir mendekati rekor tertingginya di Rp 5.725 pada 28 Desember 2023. Namun pada perdagangan hari ini BBRI hanya mampu ke posisi Rp 5.700 per saham.

Kenaikan saham-saham bank kakap, sontak membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga memecahkan rekor tertingginya sepanjang sejarahnya. IHSG berhasil tembus level 7.370 jelang penutupan perdagangan tengah pekan ini.

Menurut Head Customer Literation and Education Kiwoom Sekuritas Oktavianus Audi, lonjakan ini dipicu oleh perubahan alokasi investasi yang sering terjadi pada awal tahun atau dikenal sebagai "January Effect" khususnya dalam saham-saham besar.

Selain itu, hal ini juga diperkuat oleh proyeksi kinerja positif untuk tahun fiskal 2023 yang diperkirakan akan meningkat. 

“Selain itu, kami melihat ada potensi pembagian dividen yang lebih besar untuk tahun buku 2023,” kata Oktavianus kepada Katadata.co.id, Kamis (4/1).

Ia juga yakin saham-saham besar atau big caps masih berpotensi melesat, seiring dengan kemungkinan pelonggaran kebijakan moneter dari bank sentral. Hal itu seiring dengan potensi penurunan imbal hasil obligasi yang mendorong arus masuk ke pasar saham, termasuk IHSG di Indonesia.  

“Lalu dengan perkiraan pertumbuhan PDB Indonesia yang masih di atas 5% dapat mendorong daya beli masyarakat,” tambah Oktavianus.

Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas Indonesia Nafan Aji Gusta juga mengatakan, kinerja bank-bank besar bisa mencapai all time high merupakan hal yang wajar. Hal itu dipengaruhi oleh sentimen positif dari konsistensi kinerja bank tersebut dalam meningkatkan net interest margin.

Nafan mencatat bahwa permintaan kredit tetap kuat secara konsisten, meskipun Bank Indonesia (BI) telah mengetatkan kebijakan moneter. Namun, kata Nafan, pengetatan moneter tersebut sejalan dengan stabilitas kinerja ekonomi domestik, terutama dalam menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi domestik.

Oleh karena itu, ia melihat bahwa pertumbuhan kredit tetap berjalan dengan progresif.

“Karena memang ini juga sangat didukung oleh kenaikan pertumbuhan kredit. Apalagi di 2024 perbankan makin optimis ya, khususnya Bank Mandiri,” kata Nafan. 

Tak hanya itu, Nafan mengatakan bahwa pertumbuhan kredit konsumen dapat terus meningkat. Bahkan ia menantikan kebijakan "soft landing" yang diterapkan oleh bank sentral, yang merupakan peralihan kebijakan dari pengetatan moneter ke pelonggaran moneter. Dari kebijakan yang ketat menjadi kebijakan yang lebih ekspansif. 

Nafan menyebut perubahan ini dapat menjadi pemicu positif untuk pertumbuhan kredit konsumen yang lebih baik. Bahkan hal itu dianggap sebagai faktor utama dalam meningkatkan pertumbuhan kredit secara keseluruhan.

“Jadi ini bisa semakin memberikan katalis positif terhadap meningkatnya kredit konsumer, apalagi pertumbuhan kredit,” kata Nafan. 

Reporter: Nur Hana Putri Nabila