Di awal tahun ini, pasar modal Indonesia diramaikan dengan pencatatan saham perdana perusahaan-perusahaan yang terafiliasi dengan para politisi. Emiten tersebut antara lain, PT Adhi Kartiko Pratama Tbk (NICE), PT Manggung Polahraya Tbk (MANG) dan PT Asri Karya Lestari Tbk (ASLI).
Di saham NICE misalnya, terdapat Herman Herry Adranacus yang merupakan anggota Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang mencalonkan diri sebagai calon legislatif dari daerah pemilihan Nusa Tenggara Timur II.
Wakil Ketua DPD Golkar Lampung yaitu Mohammad Reza Pahlevi juga tercatat sebagai pemegang saham perusahaaan konstruksi MANG. Dalam prospektus ia mengapit 2,08 miliar saham perusahaan, setara kepemilikan 68,20%. Sementara di saham ASLI, terdapat nama Sudjatmiko, politisi asal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini adalah pemegang saham pengendali dengan kepemilikan 69,25% saham.
Masuknya perusahaan ini ke pasar modal menjadi perhatian publik karena bertepatan dengan momen sebulan menjelang pemilihan umum 2024. Situasi ini memunculkan dugaan akan terjadinya transaksi keuangan mencurigakan menjelang pemilu, penyelewengan dana hasil penawaran umum, hingga aksi goreng saham melalui lantai bursa.
Ini terindikasi misalnya, pada Pemilu 2019 lalu, berdasar laporan PPATK, terdapat laporan transaksi keuangan mencurigakan tertinggi terjadi di DKI Jakarta, dengan jumlah transaksi mencapai lebih dari Rp540 triliun, diikuti oleh Jawa Timur sebesar Rp367 triliun.
Secara keseluruhan, total nilai transaksi mencurigakan di 34 provinsi tembus Rp 1.147 triliun. Laporan transaksi mencuraigakan ini di antaranya mengalir melalui pasar modal pada kategori industri keuangan non bank (IKNB).
Yang juga menjadi perhatian publik, IPO ini bisa dijadikan sebagai exit strategy para politisi. Terakhir, pengambilalihan atau divestasi saham yang dilakukan oleh pengendali. Merespons hal ini, Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna mengatakan, bursa tidak mengatur pembatasan bahwa IPO dan pencatatan saham di bursa menjadi exit strategy pihak manapun.
Namun dalam evaluasi, Nyoman menyebut otoritas bursa menekankan aspek substansi, termasuk pihak yang menjadi pengendali dan pemilik manfaat. "Skema IPO seluruhnya berasal dari divestasi founder, sudah tentu dana hasil IPO sepenuhnya untuk founder. Dalam hal ini tidak ada dana yang diperoleh perusahaan dari IPO," kata Nyoman kepada wartawan, Kamis (18/1).
Selain itu, Nyoman menjelaskan otoritas bursa memiliki mekanisme perlindungan investor dalam hal terjadi perubahan pengendali. Antaranya yaitu kewajiban untuk membuka informasi dan penawaran tender wajib kepada pengendali baru.
Terdapat kewajiban bagi perusahaan untuk menentukan pengendali dan juga kewenangan Otoritas Jasa Keuangan atau OJK untuk menetapkan pengendali. "Dalam kondisi tertentu bursa dapat meminta pengendali untuk mempertahankan pengendalian serta kepemilikannya dalam periode waktu tertentu," sebut Nyoman.