Saham raksasa properti China Evergrande Group (HKG) di Bursa Hong Kong ambruk hingga 21% ke level 0,16 HKD pada perdagangan Senin ini (29/1) setelah pengadilan Hong Kong memerintahkan untuk melikuidasi perusahaan akibat gagal bayar.
Berdasarkan data perdagangan, rata-rata volume saham Evergande mencapai 37,6 juta, dan kapitalisasi pasarnya susut menjadi 2,11 miliar HKD atau senilai Rp 4,26 triliun. Tak hanya itu, dalam seminggu terakhir sahamnya anjlok 25,91% dan ambles 53,43% sejak enam bulan terakhir.
Kejatuhan saham Evergrande sebagai respons negatif investor setelah perusahaan gagal membayarkan utang atau kewajiban yang mencapai lebih dari US$ 325 miliar atau setara Rp 5.144,60 triliun (kurs Rp 15.829/US$). Perdagangan saham kini telah dihentikan sementara.
Dilansir dari BBC pada Senin (29/1), Hakim Linda Chan menyatakan, waktu yang diberikan sudah cukup. Karena, Evergrande telah gagal mengajukan proposal restrukturisasi. Keputusan ini kemungkinan akan menimbulkan dampak besar bagi pasar keuangan Cina ketika pihak berwenang sedang berusaha mengekang aksi jual saham Evergrande di bursa efek. Sebab, sektor properti Cina menyumbang sekitar seperempat perekonomian terbesar ke-2 di dunia ini.
Likuidasi Evergrande
Namun muncul pertanyaan apakah proses likuidasi ini akan berjalan mulus. Sebab, hal ini bergantung dari keputusan pemerintah Cina serta perintah likuidasi dari pengadilan Hong Kong. Likuidasi merupakan suatu proses penyitaan dan penjualan aset suatu perusahaan. Hasilnya kemudian dapat digunakan untuk membayar utang yang belum dibayar.
Kasus Evergrande diajukan oleh salah satu investor yaitu Top Shine Global yang berbasis di Hong Kong, pada Juni 2022 lalu. Mereka menyebut, Evergrande tidak dapat menepati janjinya untuk buyback atau pembelian kembali saham. Namun utang Top Shine hanyalah sebagian kecil dari total utang Evergrande. Sebagian besar utangnya berasal dari pemberi pinjaman di Cina daratan yang memiliki jalur hukum terbatas untuk meminta dana mereka bisa kembali.
Sebaliknya, kreditor asing bebas mengajukan kasus ke pengadilan di luar Cina. Namun beberapa telah memilih Hong Kong, tempat Evergrande dan pengembang lainnya terdaftar, untuk mengajukan tuntutan hukum.
Setelah dikeluarkannya perintah penutupan, direksi perusahaan tersebut tidak lagi mempunyai kendali. Global insolvency leader di Deloitte Derek Lai memperkirakan, pengadilan akan menunjuk pegawai pemerintah atau mitra dari perusahaan profesional sebagai tim likuidasi.