Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai pengaruh ketegangan di Timur Tengah imbas konflik Iran-Israel terhadap pasar saham dan surat berharga tidak signifikan. Ini karena kepemilikan saham dan surat berharga dari Timur Tengah cenderung rendah.
"Dari segi eksposur terhadap surat berharga dan saham, kepemilikan Investor yang langsung berkaitan dengan Timur Tengah bisa dikatakan sangat kecil," kata Ketua Dewan OJK, Mahendra Siregar di Istana Merdeka Jakarta pada Rabu (17/4).
OJK mencatat nilai kepemilikan saham investor dari Timur Tengah tercatat sebesar Rp 65,73 triliun atau sekitar 2% dari total nilai kepemilikan saham investor non-residen. Kepemilikan Lembaga Jasa Keuangan (LKJ) oleh investor pengendali dari Timur Tengah tercatat hanya sebesar 0,1% dari total aset perbankan.
OJK juga mencatat surat berharga dengan penerbit dari Timur Tengah yang dimiliki perbankan domestik hanya sebesar Rp1,3 triliun atau 0,06% dari total surat berharga yang dimiliki perbankan. Sementara asuransi dan Perusahaan Pembiayaan tidak memiliki surat berharga dengan penerbit dari Timur Tengah.
"Kalau dilihat saat ini dari posisi devisa neto perbankan, lalu dari segi loan to deficit ratio untuk valas maupun eksposur yang disampaikan, secara menyeluruh terkendali," ujar Mahendra.
Di sisi lain, Mahendra menyebut eskalasi Israel-Iran cenderung lebih mengarah kepada pergerakan harga minyak yang secara psikologi mempengaruhi nilai tukar (kurs) rupiah. "Ini yang kami cermati dan perhitungkan," kata Mahendra.
OJK menilai fundamental perekonomian Indonesia terjaga baik. Ini terlihat dari sejumlah faktor, diantaranya pertumbuhan ekonomi yang terjaga di kisaran 5%, inflasi yang berada di rentang target Bank Indonesia.
Sebelumnya, Ekonom Eisenhower Fellow (EF) Mari Elka Pangestu mengatakan serangan Iran ke Israel pada Sabtu (13/4) dinilai akan berdampak negatif terhadap Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG.
Mari juga mengatakan, serangan Iran ke Israel membuat harga minyak melonjak. Selain itu, distribusi barang impor lewat kanal Suez akan terganggu. Kondisi tersebut bakal berdampak pada harga impor minyak, gandum, dan produk asal Eropa ke Indonesia.
“Harga komoditas terpengaruh. Rupiah bisa melemah lebih jauh, imbal hasil obligasi atau bond yield Indonesia bisa turun, dan IHSG terpengaruh," kata mantan Menteri Perdagangan itu dalam acara virtual Eisenhower Fellowships Indonesia Alumni Chapter, Senin (15/4).