Utang Tembus Rp 25,4 Triliun, Adhi Karya Mengadu ke DPR Minta Tambahan Modal

Emiten konstruksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Adhi Karya Tbk (ADHI) mencatatkan utang hingga Rp 25,36 triliun sepanjang 2024. Hal itu terungkap dalam rapat dengar pendapat Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat bersama Direksi BUMN Karya, di Kompleks Parlemen Senayan, Rabu (5/3).
Direktur Utama ADHI, Entus Asnawi Mukhson menjelaskan dari utang tersebut sebanyak Rp 9 triliun adalah utang bank. Selain itu, ia menyebut terdapat utang usaha sebesar Rp 10 triliun, serta kewajiban lainnya seperti uang muka kontrak dan berbagai liabilitas tambahan.
“Jadi totalnya kalau yang terkait dengan mitra kerja itu Rp 10,5 triliun,” kata Enthus.
Ia pun menjelaskan tahun lalu ADHI memiliki obligasi jatuh tempo senilai hampir Rp1 triliun, namun hanya mampu menerbitkan kembali sebesar Rp 102 miliar. Dia menjelaskan dari jumlah tersebut hanya sekitar 10% berasal dari touchstone investor, bukan dari publik.
“Kalau dari publik kelihatannya memang sudah di titik nadir ini kepercayaan ke BUMN konstruksi,” ujar Entus.
Dalam rapat itu, Enthus menyampaikan harapan apabila memungkinkan, ADHI berharap bisa mendapatkan penjaminan dari pemerintah untuk penerbitan obligasi atau instrumen lainnya. Hal itu menurut Enthus diperlukan agar ADHI tetap dapat mengakses dana dari masyarakat.
Ia juga mengakui kondisi perbankan saat ini sangat menantang dan ketat bagi sektor konstruksi. Menurutnya, satu-satunya cara untuk membayar utang kepada masyarakat yang mencapai Rp 10,47 triliun adalah melalui pencairan termin proyek atau restrukturisasi utang dengan perbankan dan obligasi.
Enthus menambahkan total utang obligasi dan perbankan ADHI telah turun signifikan dari Rp 11 triliun menjadi Rp 9 triliun secara konsolidasi.
“Bukan kami mau turun dan tidak mau membayar ke mitra kerja. Tapi karena tidak bisa menerbitkan tambahan utang. Itu yang sulit. Sementara juga untuk pembayaran-pembayaran piutang juga masih ketat,” ucapnya.
Entus menjelaskan untuk melanjutkan pengembangan lini investasinya, ADHI membutuhkan suntikan dana dari pemerintah melalui penyertaan modal negara atau PMN. Tambahan modal diperlukan guna memperkuat kapasitas ekuitas perusahaan.
Menurut Enthus, Dana tersebut diperlukan untuk memenuhi setoran ekuitas pada Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) untuk proyek Tol Jogja-Solo dan Tol Jogja-Bawen. Perihal permintaan tambahan PMN ini sebelumnya juga sudah disampaikan dalam rapat bersama DPR.
"Saya kira itu dukungan-dukungan yang kami mohonkan dari Bapak, Ibu anggota," ujar Enhus.
Selain itu, ADHI juga menargetkan peningkatan proporsi pendapatan berulang (recurring income) guna menciptakan stabilitas keuangan serta mengurangi risiko ketergantungan terhadap kontrak pemerintah.
Kantongi Kontrak Rp 20,1 Triliun
Di sisi lain meski memiliki utang yang banyak, Enthus mengatakan, pada 2024 Adhi Karya juga mengantongi kontrak baru sebesar Rp 20,1 triliun. Ia mengatakan perolehan kontrak baru sepanjang 2024 didapat dari pekerjaan proyek gedung sebesar 44%, sumber daya air sebesar 22%, proyek jalan dan jembatan sebesar 22%, dan proyek lainnya 12%.
Apabila diuaraikan dari sumber pendanaan, ia mengatakan kontrak yang bersumber dari pemerintah sebesar 49%, loan 6%, BUMN/BUMD sebesar 29% dan swasta sebesar 16%.
“Perolehan kami di 2024 untuk omzet kontrak Rp 20,1 triliun, kalau dijumlahkan dengan kontrak yang sebelumnya ada carryover-nya Rp 35 triliun, itu menjadi Rp 55 triliun,” ujar Entus.
Selain itu lima proyek terbesar yang digarap ADHI yakni, Sarana Prasarana Tambak Udang Sumbawa KKP RI senilai Rp 3,2 triliun, Istana Wakil Presiden senilai Rp 1,3 triliun, EPCC Jetty & Propylene Storage Tank Rp 700 miliar, Jembatan Pulau Balang Bentang Pendek Fase 2 senilai Rp 500 miliar, serta Tol IKN Pake 1B Segmen Bandara Sepinggan - Tol Balsam senilai Rp 500 miliar.
Entus menjelaskan, hingga Desember 2024, perseroan menggarap sebanyak 105 proyek aktif di antaranya, Tol Sigli-Banda Aceh, proyek Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, Tol Bayung Lencir-Tempino, MRT Jakarta CP 201 dan CP 202, Tol Yogya-Bawen, Tol Solo-Yogya-Kulonprogo, Smelter Manyar Gresik, Malolos to Clark Railway Project CP S-01 dan South Commuter Railway Project CP S03C di Filipina.
“Proyek-proyek besar yang ditargetkan tahun ini hingga 2026 akan berkontribusi pada pendapatan,” ujar Entus.
Per Desember 2024, perseroan mencatatkan pendapatan dari proyek Non-JO sebesar Rp13,3 triliun. Jika digabungkan dengan pendapatan dari proyek JO yang mencapai Rp 11,7 triliun, maka total pendapatan dari kedua segmen ini mencapai Rp 25 triliun sepanjang 2024. Entus mengatakan angka ini turun sebesar 33,48% dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai Rp 26,6 triliun.
Pada kesempatan itu, Entus menekankan di tengah tantangan dalam proses refinancing dan reprofiling utang jatuh tempo, ia meminta adanya penjaminan dari pemerintah dalam penerbitan surat utang. Ia menilai hal itu kan meningkatkan kepercayaan investor terhadap instrumen utang yang diterbitkan ADHI.
“Kami ini ada juga sumber-sumber pendanaan dari obligasi dan situasi di market ini memang kepercayaan publik kepada karya ini memang sedang rendah-rendahnya. Sehingga kami untuk minta restrukturisasi obligasi saja demikian sulitnya,” ucapnya.