Menilik Aturan Bea Keluar, Saham ARCI, HRTA hingga ANTM Mana Paling Terdampak?
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah menggodok aturan baru terkait tarif bea keluar (BK) untuk ekspor emas. Kebijakan yang akan berlaku mulai tahun fiskal 2026 tersebut dirancang untuk menjaga pasokan emas dalam negeri sekaligus menambah penerimaan negara.
Rencana tersebut kemudian mengguncang pasar saham Tanah Air, khususnya emiten yang bergerak di industri tambang emas. Pasar merespon dengan anjloknya harga saham sejumlah emiten tambang emas.
Di antaranya adalah PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) yang anjlok 6,64%, PT Archi Indonesia Tbk (ARCI) merosot 4,20%, PT J Resources Asia Pacific Tbk (PSAB) terkoreksi 3,64% dan PT Merdeka Gold Resources Tbk (EMAS) turun 1,57%. Data tersebut dihimpun saat perdagangan Bursa Efek Indonesia secara intraday pukul 14.05 WIB, Selasa (18/11).
Lantas apa itu rancangan aturan tarif BK untuk ekspor emas, dan bagaimana dampaknya terhadap perusahaan tambang emas Domestik?
Mengenal Rencana Aturan Tarif Bea Keluar Ekspor Emas
Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kemenkeu Febrio Kacaribu menyatakan pemerintah akan mulai memungut bea keluar atau pajak untuk kegiatan ekspor emas. Febrio menyebut penyusunan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait bea keluar emas tersebut sudah memasuki tahap akhir.
“Tadi kami sudah laporkan bahwa saat ini PMK untuk penetapan bea keluar emas ini sudah dalam proses, hampir pada titik akhir,” kata Febrio dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi XI DPR, Senin (17/11).
Dalam rancangan beleid tersebut, pemerintah menetapkan tarif bea keluar sebesar 12,5% hingga 15%, tergantung pada harga mineral acuan (HMA) emas. Tarif 15% akan dikenakan apabila harga emas berada di atas US$ 3.200 per troy ounce, sedangkan tarif 7,5% sampai 12,5% berlaku untuk rentang harga US$ 2.800–3.200 per troy ounce.
Bea keluar akan dikenakan terhadap beberapa produk emas, antara lain dore, granules, cast bars, hingga minted bars
Kebijakan tersebut merupakan hasil perumusan lintas kementerian dan lembaga. Pemerintah menilai aturan ini strategis mengingat Indonesia merupakan negara pemilik cadangan emas terbesar keempat di dunia, mencapai 3.491 ton menurut data USGS. Selain itu, bea keluar diharapkan memperkuat hilirisasi emas domestik agar nilai tambah tetap bertahan di dalam negeri.
Adapun tarif bea keluar akan berkisar antara 7,5% hingga 15% dengan dua prinsip utama. Pertama, tarif produk hulu lebih tinggi dibanding produk hilir untuk mendorong penciptaan nilai tambah melalui hilirisasi. Kedua, penerapan tarif progresif, yaitu tarif naik saat harga emas global sedang tinggi.
“Ini sudah melalui tahap hermonisasi dan akan segera kita undangkan, untuk kemudian kita pastikan nanti di 2026 memberikan sumbangan bagi pendapatan negara,” ujar Febrio.
Dampak Kebijakan Tarif BK Ekspor Emas Terhadap Emiten Industri Tambang Emas, Siapa Paling Terpengaruh?
Head of Research Kiwoom Sekuritas Liza Camelia menilai tidak semua emiten tambang emas akan merasakan dampak langsung dari kebijakan tarif bea keluar (BK) ekspor emas. Menurutnya, perusahaan dengan porsi ekspor dore besar akan paling tertekan karena margin berpotensi menyusut. Sebaliknya, perusahaan yang fokus pada pasar domestik atau telah memiliki jalur hilirisasi akan lebih terlindungi.
“Kebijakan ini mendorong percepatan downstreaming dan memperkuat integrasi rantai pasok emas di dalam negeri,” kata Liza kepada Katadata, Selasa (18/11).
Liza kemudian merinci beberapa emiten yang akan terdampak oleh aturan baru tersebut. Ia menilai PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) akan menjadi emiten yang paling terpengaruh, sementara PT Hartadinata Abadi Tbk (HRTA) hampir tidak terdampak.
Berikut rincian riset Liza, daftar emiten paling berdampak:
Kategori Paling Terdampak: PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) dan PT J Resources Asia Pacific Tbk (PSAB)
MDKA dinilai paling terdampak karena memproduksi dore gold dalam jumlah besar dari Tambang Tujuh Bukit dan Wetar. Tarif BK sebesar 12,5% hingga 15% akan menjadi tekanan langsung pada margin jika perseroan tetap mengandalkan ekspor.
“Perusahaan perlu mempercepat penggunaan refinery domestik untuk mengurangi beban bea keluar dan menjaga profitabilitas,” ujar Liza.
Sementara PSAB masuk kategori dampak moderat. Perseroan memproduksi dore gold dari beberapa tambang dengan margin relatif tipis, sehingga tarif BK dapat menekan laba bila porsi ekspor masih tinggi. PSAB disarankan memperkuat kerja sama dengan refinery domestik untuk menurunkan beban fiskal.
Kategori Terdampak Sedang: PT Archi Indonesia Tbk (ARCI) dan PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS)
Kemudian, dia menyebut ARCI memproduksi dore dari tambang Toka Tindung, sehingga kebijakan BK berpotensi meningkatkan tekanan biaya dan menekan margin. Dampak dapat diminimalkan dengan memperbesar penjualan domestik atau memperkuat proses hilirisasi.
Sementara itu Liza menilai produksi emas BRMS meningkat secara bertahap sehingga ketergantungan terhadap ekspor dore masih rendah. Jika porsi ekspor meningkat, tarif BK bisa memangkas margin, namun mitigasi melalui penjualan domestik maupun kerja sama dengan refinery lokal dinilai masih cukup luas.
Sebelumnya, Presiden Direktur BRMS Agoes Projosasmito menegaskan seluruh pendapatan perseroan saat ini berasal dari penjualan emas dan perak di pasar domestik melalui anak usaha PT Citra Palu Minerals (CPM), operator tambang emas dan perak di Sulawesi Tengah dan Selatan.
“Rencana pemberlakuan pajak atas ekspor emas tidak akan berdampak terhadap pendapatan BRMS,” kata Agoes dalam keterangan resmi dikutip Selasa (18/11).
Kategori Dampak Rendah: PT Aneka Tambang Tbk (ANTM)
Dia menjelaskan, PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) menjual sebagian besar emas di pasar domestik melalui divisi Logam Mulia. Dengan porsi ekspor dore yang kecil, dampak BK terhadap profit relatif terbatas. Tantangan utama berada pada potensi kenaikan biaya bila harga emas global melonjak, namun operasional diperkirakan tetap stabil.
Kategori Nyaris Tidak Berdampak: PT Hartadinata Abadi Tbk (HRTA)
Menurut Liza, PT Hartadinata Abadi Tbk (HRTA) HTA hampir sepenuhnya berorientasi domestik, dengan ekspor hanya 0,43% dari pendapatan hingga kuartal ketiga 2025. Karena itu, kebijakan BK nyaris tidak memberikan dampak negatif. Bahkan, berpotensi menguntungkan karena meningkatnya ketersediaan suplai emas domestik membuat biaya sourcing lebih efisien.
Di sisi lain, Senior Market Chartist Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji Gusta Utama mengatakan kebijakan tersebut hanya akan mempengaruhi emiten yang melakukan ekspor terhadap hasil tambang emasnya,
“Bila penjualan emiten-emiten tambang emas mengalir ke pasar domestik semestinya tidak akan terkena dampak negatif dari kebijakan bea keluar untuk ekspor emas,” kata dia.