Lembaga Penjamin Simpanan telah melakukan simulasi atau stress test terhadap kondisi perbankan dengan menggunakan skenario dampak pandemi corona yang telah dibuat pemerintah. Dalam skenario berat, delapan bank berpotensi membutuhkan penanganan LPS.
"Kami sudah pernah melakukan simulasi stress test, kalau skenario berat yang ditetapkan pemerintah terjadi, kami pernah menghitung ada delapan bank yang berpotensi dengan kriteria yang ada," ujar Kepala Eksekutif LPS Lana Soelistianingsih dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi XI DPR di Jakarta, Kamis (9/4).
Lana menjelaskan kebutuhan dana untuk penanganan bank gagal akan sangat bergantung pada kondisi masing-masing bank saat diserahkan OJK kepada LPS. Jika bank diserahkan dalam kondisi buruk, dana yang dibutuhkan akan semakin besar.
"Karena itu, kebijakan OJK untuk merger paksa kalau dapat dilakukan di awal, tentu akan membantu keuangan LPS," ungkap Lana.
Keterlibatan LPS dalam penagangan bank saat sudah masuk dalam pengawasan intensif juga akan sangat membantu. LPS juga dapat memilih metode resolusi paling murah dalam penanganan bank gagal tersebut.
Sesuai UU Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan, LPS saat ini memiliki tiga metode penyelamatan bank, yakni penyertaan modal sementara, purchase and asssumption, dan bridge bank. Purchase and assumption merupakan metode resolusi penanganan bank gagal dimana pembeli (assuming bank) membeli sebagian atau seluruh aset bank gagal, serta mengambilalih sebagian atau seluruh kewajiban bank.
(Baca: Perbankan di Bawah Bayang-bayang Krisis Imbas Pandemi Corona)
Adapun pada metode bridge bank, LPS mendirikan bank baru guna menerima pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban bank yang ditangani untuk selanjutnya menjalankan kegiatan usaha perbankan, dan akan dialihkan kepemilikannya kepada pihak lain.
Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah menjelaskan, Perppu No 1 Tahun 2020 Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona mengatur koordinasi yang lebih erat antara LPS dengan OJK. Selain pertukaran informasi, keduanya dapat melakuan audit bersaa terkait kondisi bank, bahkan sebelum masuk dalam pengawasan intensif.
"Ini bukan hanya untuk bank sistemik, tetapi juga bank nonsistemik," kata dia.
Adapun penetapan metode resolusi bank jika ditetapkan sebagai bank gagal harus diputuskan oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan atau KKSK yang juga terdiri dari Menteri Keuangan, Gubernur BI, dan Ketua OJK. Sementara penetapan metode resolusi bank nonsistemik hanya perlu ditetapkan oleh LPS.
Halim menjelaskan pemerintah dan regulator keuangan berharap krisis tidak benar-benar terjadi. Namun, berbagai antisipasi harus dilakukan untuk menyiapkan kondisi terburuk.
"Ada skenario berat dan skenario sangat berat. Untuk skenario sangat berat kemarin disebutkan pertumbuhan ekonomi bisa minus 0,2% dan dolar AS sebesar Rp 20 ribu. Namun, kita tahu BI sudah mendapatkan repo line dengan The Fed untuk menstabilkan rupiah," ungkap dia.
(Baca: 5 Poin Penting dalam Perpu Kebijakan Ekonomi Terkait Covid-19)
Saat ini, total aset LPS mencapai Rp 120 triliun. Jika terdapat bank gagal, LPS akan merepokan atau meminjam dengan jaminan aset surat berharga kepada Bank Indonesia Rp 60 triliun aset kepada BI untuk penanganan bank tersebut, sementara sisanya Rp 60 triliun akan digunakan untuk membayarkan repo tersebut tiga bulan kemudian.
Mantan Deputi Gubernur BI ini menjelaskan dengan kondisi keuangan LPS tersebut, LPS masih dapat menangani jika terdapat empat atau lima bank berskala kecil atau bermodal inti di bawah Rp 5 triliun yang gagal. "Tapi kalau ada bank besar dengan aset di atas Rp 100 triliun, apalagi kalau bank sistemik dengan aset Rp300 triliun gagal, LPS sudah pasti tidak punya kemampuan," ungkap dia.
Jika kondisi buruk tersebut terjadi, menurut dia, LPS dapat meminjam dari pemerintah untuk menopang likuiditas LPS. Sesuai Perppu terkait Pandemi Corona, pemerintah dapat menerbitkan surat utang yang kemudian dibeli oleh Bank Indonesia untuk dipinjamkan kepada LPS.