Tiga bank badan usaha milik negara (BUMN) yakni Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) mengalami pertumbuhan laba bersih dan penyaluran kredit sepanjang 2019.
Kendati demikian, kinerja laba dan kredit ketiga perusahaan yang masuk ke dalam kelompok bank dengan modal besar atau Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) IV , melambat dibanding tahun sebelumnya.
Berdasarkan laporan keuangan perusahaan, BNI mencetak laba bersih Rp 15,38 triliun. Namun, laba bersih tersebut hanya tumbuh 2,5% dibandingkan dengan perolehan tahun sebelumnya yang mencapai Rp 15,01 triliun.
(Baca: Persaingan Makin Ketat, Bank Mandiri Target Kredit Hanya Tumbuh 10%)
Perlambatan pertumbuhan tersebut salah satunya disebabkan oleh kenaikan provisi. Pada 2019, provisi yang disisihkan oleh BNI mencapai Rp 15,83 triliun, sedangkan tahun sebelumnya Rp 14,06 triliun.
Adapun kenaikan provisi tersebut dilakukan seiring dengan memburuknya kualitas kredit BNI dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal itu terlihat dari rasio kredit seret atau non-performing loan (NPL) pada 2019 yang berada di level 2,3%, lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya 1,9%.
Meski kualitas kredit memburuk, BNI menyalurkan kredit Rp 556,77 triliun atau tumbuh 8,6%. Namun, pertumbuhan kredit BNI melambat dari tahun sebelumnya yang sebesar 16,2%.
Portofolio kredit BNI tersebut, disokong oleh segmen korporasi swasta Rp 181,4 triliun, tumbuh 19,6% dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara, penyaluran kredit kepada BUMN Rp 106,97 triliun atau turun 3,6%.
(Baca: BI Catat Penurunan Bunga Kredit Masih Lambat)
Selain sejumlah faktor tersebut, laba bersih BNI melambat karena biaya dana atau cost of fund tahun lalu naik 3,2%. Dampaknya, rasio margin bunga bersih atau net interest margin (NIM) turun 4,9%.
BNI menaikkan biaya dana karena mengalami tekanan likuditas yang terlihat dari peningkatan rasio pinjaman dibandingkan simpanan (loan to deposit ratio/ LDR).
Per akhir 2018, LDR BNI berada di level 88% dan sempat naik 98,2% pada kuartal III 2019. Meski pada akhir 2019, LDR BNI 91,4%.
BRI pun mengalami situasi serupa. Laba bersih pada tahun ini Rp 34,41 triliun atau tumbuh 6,15% dari tahun sebelumnya. Namun, realisasi pertumbuhan laba bersih BNI 11,6%.
Direktur Utama BRI Sunarso mengatakan, penyebab perlambatan laba bersih karena berbagai indikator kinerja tahun lalu hanya tumbuh hanya satu digit.
"Seperti pertumbuhan kredit 2019 yang secara nasional hanya 6% (dibanding 2018 tumbuh 11%)," katanya di Kantor BRI, Jakarta, Kamis (23/1).
(Baca: Ekonomi Belum Membaik, BI Ramal Kredit Kuartal I Masih Tumbuh Lemah)
BRI menyalurkan kredit konsolidasi senilai Rp 908,88 triliun atau tumbuh 8,44% dibanding tahun sebelumnya Rp 838,14 triliun. Meski kredit berhasil tumbuh di atas rata-rata industri perbankan, namun lebih lambat dibandingkan tahun sebelumnya yang 14%.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Keuangan BRI Haru Koesmahargyo menyampaikan laba bersih perusahaan tumbuh melambat karena Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) yang makin besar. Hal itu seiring dengan kenaikan NPL perseroan 2,8%. Sedangkan pada tahun sebelumnya, NPLperseroan 2,27%.
"Ada kenaikan NPL, sehingga yield yang kami terima dari pinjaman berkurang. Kami harus menambah cadangan untuk bisa meng-cover resiko likuiditas," katanya.
Salah satu segmen yang menyumbang NPL terbesar tahun lalu datang dari segmen korporasi. Akibatnya, NPL naik 8% pada 2019, sementara tahun sebelumnya 5%.
PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) juga mengalami hal serupa. Sepanjang 2019, perusahaan mencatat laba bersih Rp 27,5 triliun pada 2019, tumbuh 9,9% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Meski begitu, sama seperti perbankan sebelumnya, pertumbuhan laba itu melambat dibanding 2018 yang mencapai 21,2%.
Hal ini disebabkan penyaluran kredit perseroan yang melambat dari 12,4% menjadi 10,6%. Adapun nilai penyaluran kredit sepanjang tahun lalu mencapai Rp 907,5 triliun.
Margin bunga bersih atau NIM juga turun dari 5,66% menjadi 5,56%. Sementara pendapatan bunga bersih naik 8,8% menjadi Rp 59,4 triliun.
Direktur Utama Bank Mandiri Royke Tumilaar Kredit Bank Mandiri menyebutkan, perlambatan pertumbuhan tersebut sejalan dengan penurunan harga komoditas seperti minyak sawit mentah (CPO) dan batu bara.
"Semuanya lagi di harga yang cukup rendah, sehingga tentu ada dampak kepada kondisi ekonomi," ujar dia di kantornya, Jakarta, Jumat (24/1).
Pada kesempatan yang sama, Direktur Konsumer dan Transaksi Ritel Bank Mandiri Hery Gunardi menjelaskan, pertumbuhan penyaluran kredit konsumer paling melambat dibandingkan segmen kredit lain pada 2019. Kredit yang disalurkan segmen ini hanya Rp 94,3 triliun atau tumbuh 7,9%.
Menurutnya, penyaluran kredit konsumer tumbuh melambat karena faktor konsumsi masyarakat yang menurun tahun lalu.
Sementara segmen kredit lainnya bisa tumbuh tinggi. Misalnya, penyaluran kredit ke komersial dan mikro dengan peningkatan masing-masing 8,9% dan 20,1%.
Dibandingkan dua bank BUMN sebelumnya, kualitas kredit Bank Mandiri tampak lebih baik. Hal ini terlihat dari rasio kredit bermasalah atau NPL yang turun sebesar 42 basis poin (bps) tahun lalu menjadi 2,33%. Dampaknya, biaya pencadangan (CKPN) pun turun 14,9% menjadi Rp 12,1 triliun.