Asosiasi Asuransi Tak Setuju Produk Saving Plan Memicu Kasus Jiwasraya

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Ilustrasi. Produk JS Saving Plan diduga menjadi salah satu penyebab defisit keuangan pada Asuransi Jiwasraya.
Penulis: Agustiyanti
23/1/2020, 13.00 WIB

Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia atau AAJI menegaskan tak ada yang salah dengan produk asuransi saving plan. Pernyataan ini menanggapi masalah keuangan Jiwasraya yang diduga antara lain disebabkan oleh kesalahan dalam pembentukan produk JS Saving Plan. 

Ketua AAJI Budi Tampubolon menjelaskan produk saving plan sudah umum di industri asuransi dan berkembang di Indonesia lebih dari 25 tahun. Produk ini juga dijual di sejumlah negara yang sudah lebih maju dari sisi produk keuangan, salah satunya Jepang.

"Ada yang salah dengan produk ini? Jawabannya tidak. Kalau produk saving plan bermasalah, tidak mungkin masih dijual di negara yang lebih maju dari sisi keuangan seperti Jepang atau Hong Kong," ujar Budi dalam diskusi dengan media di Jakarta, Rabu (23/1).

Menurut Budi, produk saving plan sebenarnya jauh lebih mudah dipahami bagi pemula atau pembeli awal produk asuransi. Oleh karena itu, produk ini menjadi salah satu yang dapat diandalkan perusahaan asuransi saat ingin meningkatkan penetrasi pemegang polis.

"Jadi produk ini bisa digunakan jika perusahaan asuransi ingin lebih dalam dari sisi penetration rate. Dengan unit link bisa, tetapi hasilnya memakan waktu," terang dia.

(Baca: Kejaksaan Sebut Tersangka Jiwasraya Sembunyikan Aset di Luar Negeri)

Produk saving plan yang dijual saat ini terbagi ke dalam dua jenis, yakni dengan jaminan tingkat bunga dan tanpa jaminan bunga. Adapun jaminan tingkat bunga yang ditawarkan perusahaan asuransi pun beragam. 

"Dengan dan tanpa jaminan, keduanya oke. Yang dengan tingkat jaminan, ada yang hanya 0,25% di atas deposito dan ada yang menjanjikan tinggi, tergantung risk appetite perusahaan dan semua sah," ungkap dia.

Namun, penting bagi perusahaan asuransi untuk mengelola investasi produk ini dengan baik dan memiliki dukungan permodalan yang kuat.

Sementara terkait Jiwasraya, Budi menduga perusahaan berani menjual produk saving plan dengan garansi bunga hingga 13 persen lantaran memiliki aset obligasi pemerintah dengan bunga tinggi.

"Kami menyimpulkan awalnya, karena Jiwasraya merupakan salah satu asuransi paling tua di Indonesia, mereka memegang bond-bond lama yang duga digit, jadi awalnya produk ini aman," terang dia.

(Baca: Kejaksaan Agung Blokir 35 Rekening Milik Tersangka Jiwasraya)

Namun, menurut dia, aset yang dimiliki perusahaan tersebut memiliki batasan nilai. Oleh karena itu, seharusnya penjualan produk saving plan dibatasi senilai aset-aset berbunga tinggi yang saat itu dipegang Jiwasraya.

"Sebenarnya enggak masalah menjual produk tersebut, Rp 3 triliun pertama ada back up asset-nya. Tapi ketika sudah habis dalam jualan pertama, tidak bisa aset yang sama untuk mendukung yang berikutnya. Ini masalah pengelolaan," kata dia.

Presiden Direktur Prudential yang juga menjabat sebagai Ketua Bidang Kanal Distribusi AAJI Jens Reisch turut menjelaskan bahwa saving plan merupakan produk yang umum di industri asuransi, termasuk di  negara maju. Di Jerman tempat asalnya, juga terdapat produk saving plan yang dijual dengan garansi bunga di atas deposito.

"Kalau di Jerman bunga deposito 0%, produk saving plan ini ada yang ditawarkan dengan garansi bunga hingga 1%," ungkap dia.

Ia juga menekankan pengelolaan investasi menjadi salah satu poin utama dalam menjaga keberlanjutan produk dengan jaminan garansi bunga tersebut. Masalah Jiwasraya pun diharapkan dapat menjadi pelajaran berharga bagi industri asuransi di Tanah Air.

(Baca: Kejaksaan Buka Peluang Tersangka Baru Kasus Jiwasraya)

Kesalahan pembentukan harga pada produk asuransi JS Saving Plan diduga menjadi salah satu penyebab masalah keuangan pada Asuransi Jiwasraya. Produk tersebut menawarkan imbal hasil pasti mencapai 9% hingga 13%, jauh di atas rata-rata hasil investasi di pasar. 

Modal BUMN Asuransi ini hingga kuartal III 2019 diperkirakan minus hingga mencapai Rp 24 triliun. Selain masalah kesalahan pembentukan harga, terjadi pula dugaan kesalahan hingga kecurangan dalam pengelolaan investasi pada Jiwasraya. 

Saat ini, masalah Jiwasraya tengah berada dalam penyidikan Kejaksaan Agung karena terindasi terdapat dugaan korupsi yang merugikan negara Rp 13,7 triliun. Kejaksaan Agung juga telah menangkap lima tersangka, tiga di antaranya pernah menjabat di Jiwasraya. 

Kelima tersangka tersebut mantan Direktur Utama Hendrisman Rahim, bekas Kepala Investasi dan Divisi Keuangan Jiwasraya Syahmirwan, eks Direktur Keuangan Jiwasraya Hary Prasetyo, Komisaris PT Hanson Internasional Tbk Benny Tjokrosaputro, dan Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera Tbk Heru Hidayat. Kelima tersangka tersebut menjalani tahanan di tempat yang berbeda.