Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir berencana membentuk induk usaha (holding) yang bergerak di bisnis asuransi dan dana pensiun. Hal itu untuk menghindari kasus tekanan likuiditas yang terjadi pada PT Asuransi Jiwasraya (Persero).
Masalah gagal bayar Jiwasraya terjadi karena direksi tidak berhati-hati dalam mengambil keputusan investasi. "Ke depan, dana-dana pensiun yang ada di BUMN akan dijadikan satu atap, tidak ada sendiri-sendiri lagi. Jangan sampai kasus Jiwasraya terjadi di dana pensiun Pertamina, BRI, atau lainnya," kata Menteri BUMN Erick Thohir di Jakarta, Minggu (5/1).
Perusahaan dana pensiun PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri) yang mengurus dana pensiun untuk TNI dan Polri juga bakal masuk dalam holding BUMN tersebut. "TNI dan Polri kasihan yang sudah kerja puluhan tahun tidak ada kepastian. Makanya kami konsolidasikan, dicari figur yang bagus," kata Erick menambahkan.
Erick tidak ingin pensiunan dari perusahaan-perusahaan pelat merah tidak mendapatkan dana pensiun karena adanya oknum yang merugikan perusahaan. Pembentukan holding dana pensiun itu sejalan dengan rencana pembentukan holding perusahaan asuransi.
(Baca: Jiwasraya Lunasi Utang Rp 218 Miliar ke BNI)
Pembentukan holding asuransi menjadi langkah awal dari proses penyelematan Jiwasraya dari teknanan likuiditas. Dengan adanya pembentukan holding asuransi tersebut, Erick percaya Jiwasraya akan mendapatkan arus kas sekitar Rp 1,5 sampai 2 triliun.
"Sehingga nasabah yang selama ini tidak ada kepastian, akan ada dana bergulir," katanya.
Untuk skema penyelamatan likuiditas Jiwasraya lainnya, Erick pun menyerahkan hal itu kepada Direktur Utama Jiwasraya, Hexana Tri Sasongko yang dinilai merupakan sosok ahli di bidang ini. "Kalau saya, memastikan kerjaan bersinergi dengan visi besar Presiden," katanya.
Direktur Utama Jiwasraya Hexana Tri Sasongko sebelumnya mengatakan salah satu faktor permasalahan Jiwasraya yakni gagal dalam pembentukan harga produk Saving Plan. Pada produk tersebut, BUMN asuransi ini menjanjikan imbal hasil tinggi kepada nasabah. Padahal, hal itu tak sesuai dengan kondisi pasar.
Perusahaan juga sebelumnbya tidak berhati-hati dalam menginvestasikan premi. Berdasarkan aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), 30% premi harus diinvestasikan ke surat utang negara. Namun, Jiwasraya malah menempatkan sebagian besar investasi pada reksa dana dan saham.
"Sebab, kalau pakai surat utang negara, itu tidak akan pernah mengejar janji return ke nasabah. Makanya, ke saham dan reksa dana saham," ujar Hexana.
(Baca: Saham Gorengan yang Membuat Resah Jokowi dan Investor Pasar Modal)