Direktur Keuangan & Strategi Bank Mandiri Panji Irawan mengatakan bahwa perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok, serta pertumbuhan ekonomi global yang tertekan membuat perbankan harus lebih selektif untuk menyalurkan kreditnya, dan memperketat proses bisnis.
Panji menjelaskan dalam menghadapi situasi ini Bank Mandiri memprioritaskan prinsip kehati-hatian dalam mengelola risiko bisnis dan portofolio kredit. "Kami menyadari tantangan perbankan nasional kedepan akan terus meningkat. Pada saat yang bersamaan, bank-bank nasional pun akan lebih selektif," ujarnya saat ditemui Plaza Mandiri, Jakarta, Senin (9/9).
Namun, ditengah ketidakpastian ekonomi pihaknya melihat ada peluang bisnis kredit dan bisnis transaksi yang menjanjikan. Adapun sektor yang prospektif yaitu sektor jasa kesehatan, farmasi, pendidikan, ekonomi kreatif, dan pariwisata.
Sedangkan, sektor yang memiliki prospek yang baik yakni FMCG (Fast Moving Consumer Goods), dan sektor telekomunikasi. Karena sejalan dengan membaiknya daya beli masyarakat dan terus meningkatnya penetrasi pengguna internet. "Diantara semuanya, ada pemain yang jago misalnya FMCG dan farmasi," ungkap Panji.
(Baca: Platform Baru, Kredit UMKM Bank Mandiri Bisa Cair di Hari Pengajuan)
Untuk menghadapi tantangan ekonomi global, pihaknya juga yakin peran bawa Bank Indonesia dan pemerintah akan menciptakan kebijakan yang efektif dalam mendorong perekonomian nasional, melalui pengelolaan kebijakan moneter.
Adapun pada semester I 2019 penyaluran kredit konsolidasi Bank Mandiri tumbuh 9,5% dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya (year on year/yoy) menjadi sebesar Rp 820 triliun. Pertumbuhan tertinggi dicapai segmen corporate banking, yang tumbuh sebesar 21,2% yoy, dan mikro yang tumbuh 23,6% yoy.
Pertumbuhan kredit sebesar 9,5% ini diikuti oleh perbaikan kualitas aset, ditunjukkan oleh penurunan rasio NPL gross menjadi 2,6%, atau turun sebanyak 54 basis points dibandingkan periode yang sama tahun 2018.
Sementara itu, dana pihak ketiga (DPK) secara konsolidasi tumbuh sebesar 6,8% yoy, menjadi sebesar Rp 827,8 triliun, dengan komposisi dana murah mencapai 62,4% dari total DPK.
(Baca: Ancaman Likuiditas Perbankan di Tengah Penurunan Suku Bunga Acuan)