Bank Dunia Soroti Kasus Gagal Bayar AJB Bumiputera dan Jiwasraya

Arief Kamaludin | Katadata
Ilustrasi, logo bank dunia. Bank Dunia menyoroti lemahnya sistem asuransi Indonesia dan konglomerasi keuangan. Terutama kasus gagal bayar AJB Bumiputera dan Asuransi Jiwasraya.
8/9/2019, 19.56 WIB

Bank Dunia dalam paparannya bertajuk "Resiko Ekonomi Global dan Implikasinya terhadap Indonesia" pada September ini menyatakan sistem keuangan di Indonesia pada umumnya tahan terhadap guncangan. Tapi ada dua area yang memerlukan penanganan segera, yakni konglomerasi finansial dan lemahnya sektor asuransi Indonesia terutama dalam kasus gagal bayar Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera dan Jiwasraya.

Bank Dunia menyebut Indonesia harus menjaga kredibilitas sitem keuangannya dengan cara mengatasi kelemahan sektor asuransi. Masalah yang muncul saat ini adalah dua perusahaan asuransi jiwa nasional terbesar, yakni Asuransi Jiwasraya dan AJB Bumiputera 1912, tidak mampu memenuhi kewajibannya alias gagal bayar.

"Perusahaan tersebut mungkin menjadi tidak likuid dan membutukan perhatian segera," seperti dikutip dari paparan Bank Dunia pada Minggu (8/9).

Dalam kasus gagal bayar tersebut, Bank Dunia memproyeksi ada tujuh juta jiwa orang dengan lebih dari 18 juta polis yang terlibat. Mayoritas merupakan masyarakat dengan pendapatan rendah dan menengah.

Untuk memperbaikinya, Bank Dunia menyarankan agar ada analisis mendetail terhadap penilaian risiko dalam asuransi. Berdasarkan penilaian, perbaikan maupun resolusi harus dilaksanakan sesuai urutan aturan yang berlaku.

(Baca: Penyelamatan Jiwasraya, Mulai Surat Utang Hingga Bentuk Anak Usaha)

Area kedua yang jadi sorotan Bank Dunia adalah meningkatkan visibilitas risiko dengan menilai kesehatan dan ketahanan konglomerasi keuangan. Masalahnya saat ini adalah konglomerasi keuangan mewakili 88% aset perbankan.

Menurut Bank Dunia, ada kesenjangan parah dalam regulasi dan pengawasan konglomerasi keuangan. Pengawasan terpadu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkendala pengaturan tata kelola dalam aturan OJK. Selain itu, jangkauan hukum dan peraturan OJK tidak menjangkau konglomerasi keuangan tersebut.

Untuk memperbaikinya, Bank Dunia menyarankan agar regulator menetapkan pengawasan risiko terhadap konglomerasi keuangan ke dalam satu tim dan merevisi UU OJK. Selain itu, OJK juga harus menyelaraskan regulasi, proses penilaian resiko supervisi, dan peringkat lintas sektor.

Dalam revisi aturan, Bank Dunia menyebut agar OJK menghilangkan tanggung jawab komisaris individu untuk masing-masing sektor. OJK seharusnya memasukkan pengawasan terharap perusahaan gabungan dalam perimeter hukum dan peraturan OJK.

(Baca: Dua Aset Terancam Disita, AJB Bumiputera Ambil Langkah Perlawanan)

Dalam Instagram resmi OJKIndonesia, Ketua Dewan Komisaris OJK Wimboh Santoso mengatakan, OJK diberikan mandat untuk mengawasi secara terintegrasi terhadap konglomerasi sektor jasa keuangan sesuai UU OJK. OJK juga diberikan kewenangan pengawasan pada masing-masing sektor, yaitu sektor perbankan, pasar modal, dan industri keuangan nonbank (IKNB).

"Pendekatan pengawasan yang kami ambil adalah pengawasan konglomerasi keuangan dilakukan oleh pengawas yang mengawasi entitas utamanya. Jika bank adalah entitas utamanya maka pengawasan terintegrasi dilakukan oleh pengawas perbankan. Begitu juga dengan pengawasan entitas utama di industri pasar modal dan IKNB," kata Wimboh dikutip dari Instragram OJKIndonesia pada Minggu (8/9).

Pengamat asuransi Irvan Rahardjo menyebut tanggapan Ketua OJK atas laporan Bank Dunia terkait konglomerasi serta kasus Bumiputera dan Jiwasraya sangat normatif.  Selain itu, tidak menjawab isu asuransi Bumiputera dan Jiwasraya yang diungkap Bank Dunia.

"Faktanya konglomerasi baik langsung maupun tidak langsung mencoba 'menelan' Bumiputera dengan berbagai teknik rekayasa keuangan antara lain, back door listing pada 2016, run off - spin off pada 2017, lay off pada 2018, dan terakhir rekomendasi paket direksi pada 2019, yang semuanya berakhir gagal," ujar Irvan.

(Baca: OJK Diminta Perketat Pengawasan Industri Keuangan)

Reporter: Martha Ruth Thertina