Dugaan pelanggaran terhadap audit laporan keuangan Garuda Indonesia masih terus didalami. Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (P2PK) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menjabarkan sejumlah sanksi yang bisa dikenakan kepada Kantor Akuntan Publik (KAP), selaku pengaudit laporan keuangan Garuda jika terbukti melanggar ketentuan administratif.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala P2PK Kemenkeu, Adi Budiarso mengatakan, pengenaan sanksi terhadap KAP yang melanggar mengacu pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik. Setidaknya terdapat tujuh sanksi yang bisa dikenakan kepada KAP berdasarkan pasal 53 UU tersebut.
Adi menyatakan pengenaan sanksi akan tergantung dari hasil pemeriksaan. "Mekanisme biasanya, kami akan bentuk komite ad-hoc untuk melibatkan stakholder yang paling tahu situasi," katanya dalam forum diskusi di Kantor Institute Akuntan Publik Indonesia (IAPI), Jakarta, Jumat (21/6).
(Baca: Laporan Keuangan Garuda Disebut Janggal, IAPI: Revisi Opini Tak Cukup)
Adapun Pasal 53 UU Nomor 5 Tahun 2011 menyebutkan, sanksi administratif yang dapat diberikan kepada KAP di antaranya yaitu, (a) rekomendasi untuk melaksanakan kewajiban tertentu; (b) peringatan tertulis; (c) pembatasan pemberian jasa kepada suatu jenis entitas tertentu; (d) pembatasan pemberian jasa tertentu; (e) pembekuan izin; (f) pencabutan izin; (g) denda.
Namun dalam UU tersebut, juga terdapat sanksi tindak pidana sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 57. Pasal tersebut menyebutkan, KAP bisa dipidana penjara paling lama 5 tahun dan pidana denda paling banyak Rp 300 juta, jika terbukti memberikan dokumen palsu atau yang dipalsukan.
Sementara, untuk pihak korporasi, ancaman hukuman yang bisa dikenakan yakni berupa pidana denda sedikitnya Rp 1 miliar dan sebanyak-banyaknya Rp 3 miliar jika terbukti melanggar administratif laporan keuangan. Jika perusahaan tidak mampu membayar, maka pihak yang bertanggung jawab bisa terkena pidana penjara minimal 2 tahun dan maksimal 6 tahun.
Meski begitu, Adi menegaskan, pihaknya merupakan otoritas yang fokus pada regulasi KAP. Sedangkan untuk korporasi merupakan kewenangan Otoritas Jasa keuangan (OJK) karena Garuda Indonesia merupakan perusahaan terbuka.
(Baca: Sri Mulyani: Ada Kejanggalan pada Laporan Keuangan Garuda Indonesia)
Adi mengatakan, P2PK dan OJK telah membuat tim gabungan guna mendalami laporan keuangan maskapai pelat merah tersebut. "Tim gabungan sedang dalam tahap finalisasi. Setelah finalisasi nanti ada pemaparan dari pimpinan kemudian penentuan sanksi, nanti komite sanksi akan bekerja di sana," ujarnya.
Persoalan laporan keuangan Garuda Indonesia sebelumnya ikut mendapat sorotanMenteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Dia menyebut, ada kejanggalan mengenai standar audit laporan keuangan Garuda hingga menjadi polemik.
"Setelah pertemuan dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kami sepakat menetapkan bahwa memang ada kejanggalan pada standar audit keuangan Garuda," ujarnya di Kantor Kemenkeu Jakarta, Jumat (21/6).
Polemik tersebut berawal dari pernyataan dua komisaris Garuda, Chairal Tanjung dan Dony Oskaria, yang menilai pencatatan akuntansi dalam laporan keuangan Garuda tahun buku 2018 tidak sesuai dengan standar pencatatan akuntansi.
(Baca: Ada Indikasi Penyimpangan Lapkeu Garuda, Kemenkeu Kaji Sanksi Auditor)
Alhasil, keduanyaa menolak untuk menandatangani laporan keuangan tersebut. Mereka menilai, seharusnya Garuda Indonesia mencatatkan rugi tahun berjalan senilai US$ 244,95 juta. Namun, di dalam laporan keuangan yang tercatat justru perolehan laba tahun berjalan US$ 5,01 juta.
Keberatan mereka didasarkan pada perjanjian kerja sama penyediaan layanan konektivitas dalam penerbangan yang ditandatangani oleh anak usaha Garuda Indonesia, yakni PT Citilink Indonesia dengan PT Mahata Aero Teknologi (Mahata). Pendapatan dari Mahata sebesar US$ 239,94 juta, menurut mereka, tidak dapat diakui dalam tahun buku 2018.