Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meminta perbankan untuk secara konsisten meningkatkan efisiensi. Dengan begitu, kenaikan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate yang agresif sepanjang tahun lalu tidak perlu langsung direspons dengan kenaikan bunga kredit. Meskipun, terjadi penyesuaian bunga deposito.

Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan efisiensi terutama lewat pemanfaatan teknologi. "Sehingga cost (biaya) yang dikeluarkan bisa lebih murah dan efisien," kata dia saat Konferensi Pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (29/1).

Sejauh ini, Wimboh menilai pelaku industri perbankan sudah mampu melakukan efisiensi. Hal itu terlihat dari bunga kredit yang tidak banyak mengalami kenaikan pada 2018, padahal bunga deposito sudah naik secara gradual. Kredit perbankan pun mampu tumbuh 12,88% secara tahunan, lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 8,1% secara tahunan.

(Baca: BI: Dampak Kenaikan Bunga ke Pertumbuhan Ekonomi Baru pada 2020)

OJK mencatat, bunga deposito tenor satu bulan tercatat sebesar 6,92% pada akhir 2018, naik dari posisi 5,74% pada akhir 2017. Lalu, bunga deposito tenor dua bulan meningkat menjadi 6,84% dari 6,13%. Sedangkan bunga deposito tenor enam bulan naik menjadi 7% dari 6,57%. Di sisi lain, bunga deposito tenor 12 justru turun menjadi 6,5% dari 6,73%.

Sementara itu, berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), sepanjang tahun 2018 hingga awal minggu ketiga Januari 2019, rata-rata suku bunga deposito rupiah pada 66 bank benchmark (acuan) telah meningkat sebesar 66 basis poin menjadi 6,17%. Sedangkan, rata-rata bunga deposito valuta asing (valas) di 19 bank benchmark meningkat sebesar 64 basis poin menjadi 1,21%.

Wimboh mengapresiasi peningkatan efisiensi yang dilakukan pelaku industri perbankan dan berharap efisiensi terus berlanjut. "Saya rasa, ruang masih cukup besar untuk meningkatkan efisiensi," kata dia.

(Baca: LPS: Bunga Simpanan Masih Akan Naik Tahun Ini Mengikuti Bunga Acuan BI)

Ia berharap, dengan efisiensi, kenaikan bunga kredit bisa terus diredam dan pertumbuhan kredit terjaga. Dengan begitu, kenaikan bunga acuan tidak berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Lapangan pekerjaan pun terus tumbuh dan indikator-indikator ekonomi lainnya tidak terlalu banyak terganggu.

Pada kesempatan yang sama, Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, pihaknya terus berkoordinasi dengan OJK agar kebijakan bunga acuan tidak langsung direspons oleh perbankan dengan kenaikan bunga kredit. "Ini koordinasi, sinergi, dan startegi antar-lembaga KSSK yang semakin erat," kata dia. Adapun tahun ini, pertumbuhan kredit dibidik sebesar 10-12% secara tahunan.  

Mulai Mei tahun lalu, BI menaikkan bunga acuan secara bertahap total 175 basis poin hingga berada di level 6% mulai November. Setelah itu, BI menahan bunga acuan di level tersebut hingga saat ini. Hal tersebut terutama untuk merespons kenaikan bertahap bunga acuan AS. Harapannya, bisa meredam arus keluar dana asing sehingga mendukung stabilisas kurs rupiah.

(Baca: Prediksi Berbeda Ekonom Tentang Arah Kebijakan Bunga Acuan BI di 2019)

Ke depan, BI menyatakan arah kebijakan bunga acuan masih antisipatif. Namun, seiring dengan proyeksi kenaikan bunga acuan AS yang tidak seagresif tahun lalu, BI menyebut bunga acuannya sudah hampir mencapai puncak. Adapun para ekonom terbagi soal proyeksi bunga acuan BI, dari tanpa kenaikan hingga kenaikan dua kali seturut proyeksi kenaikan bunga acuan AS.