Keputusan Bank Indonesia (BI) mempertahankan suku bunga acuan di level 5,75% dinilai tepat dan sesuai dengan ekspektasi para pelaku pasar. Dalam jangka panjang, kebijakan suku bunga acuan ini akan membuat perekonomian Indonesia kembali normal setelah menemukan titik ekuilibrium baru.
Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Inarno Djajadi mengatakan, keputusan Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia yang menahan suku bunga acuan 7 Days Repo Rate di 5,,75% sesuai dengan ekpektasi pasar. "Dari awal (tahun) kan naiknya sudah 150 basis poin. Sekarang sih sudah oke ya," kata Inarno, di Gedung BEI, Jakarta, Selasa (23/10).
Selama ini kebijakan BI menaikkan suku bunga acuan dilakukan untuk mengimbangi kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed. Pasalnya, kebijakan The Fed tersebut diprediksi bisa memengaruhi aliran dana masuk (fund inflow) investor asing di pasar keuangan Indonesia. Kebijakan tersebut juga dilakukan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Menurut Inarno, jika The Fed menaikan suku bunganya, kemungkinan besar BI akan menyesuaikan dengan menaikkan suku bunga acuan. Jika BI tidak menaikkan suku bunganya setelah Fed Fund Rate dinaikkan, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan terdepresiasi. "Rupiah tertekan tapi itu (dampak) jangka pendek," katanya.
(Baca: BI Pertahankan Bunga Acuan 5,75%, Pantau Kebijakan Bunga Negara Lain)
Dengan keputusan RDG BI yang mempertahankan suku bunga acuan, BI berharap dapat memperkuat ketahanan eksternal Indonesia di tengah kondisi global yang tidak pasti. Ketahanan eksternal yang dimaksud terkait dengan neraca pembayaran Indonesia.
Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) menunjukkan transaksi antara penduduk Indonesia dan penduduk negara lain dalam jangka waktu tertentu. NPI tercatat mengalami defisit US$ 4,3 miliar pada kuartal II 2018. Defisit NPI menggambarkan ketidakseimbangan pasokan dan permintaan valas di dalam negeri yang membuat kurs rupiah tertekan.
Defisit NPI tersebut terjadi seiring dengan melebarnya defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit/CAD) yang mencapai US$ 8 miliar atau 3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Defisit yang melebar tersebut tak mampu ditambal surplus transaksi modal dan finansial yang hanya mencapai US$ 4 miliar.
“Keputusan (suku bunga acuan tetap) konsisten dengan upaya untuk menurunkan defisit transaksi berjalan ke dalam batas yang aman dan mempertahankan daya tarik pasar keuangan domestik sehingga bisa semakin memperkuat ketahanan eksternal Indonesia,” kata Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara dalam Konferensi Pers di Gedung BI, Jakarta, Selasa (23/10).
Ke depan, kebijakan bunga acuan BI akan terus diarahkan untuk menjaga neraca pembayaran. Maka itu, dalam menentukan kebijakan bunga acuan, BI terus memantau perkembangan defisit transaksi berjalan. BI juga memantau bunga acuan AS yang dalam tren kenaikan hingga 2020 dan bunga acuan negara-negara tetangga.
(Baca: Ekonom Sebut Tidak Ada Alasan Mengerek Bunga Acuan Oktober Ini)