Lima Tahun Terakhir, Neraca Finansial Indonesia Surplus US$ 142,2 M

Arief Kamaludin | Katadata
Ketua Dewan Komisioner LPS, Halim Alamsyah di Jakarta, Selasa, (25/9)
Penulis: Hari Widowati
11/10/2018, 05.55 WIB

Kebijakan moneter Amerika Serikat (AS) pasca krisis 2008 yang disebut quantitative easing (QE) dan rezim suku bunga rendah membuat Indonesia kebanjiran dana asing. Dalam lima tahun terakhir, neraca finansial Indonesia secara kumulatif surplus sebesar US$ 142,2 miliar atau sekitar Rp 1.990 triliun.

Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Halim Alamsyah mengatakan, dana tersebut menjadi tabungan orang asing di Indonesia yang ditempatkan pada investasi portofolio. Namun, gejolak dan ketidakpastian ekonomi global membuat dana tersebut susut sekitar US$ 30 miliar.

"Kemana uang yang US$ 30 miliar itu? Itu tidak masuk sebagai dana pihak ketiga (DPK) perbankan karena pertumbuhan DPK melambat di bawah 10%," kata Halim dalam Peluncuran CNBC Indonesia di The Trans Resort, Bali, Rabu (10/10).

Penarikan dana investor asing dari investasi portofolio ini salah satu faktor yang menyebabkan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Untuk mengatasi hal ini, tabungan masyarakat di dalam negeri harus terus ditingkatkan.

Berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia (SPI), pertumbuhan DPK hingga semester I 2018 melambat hanya sebesar 7% jika dibandingkan dengan posisi akhir 2017 sebesar 9,4%. Halim mengatakan, perlambatan DPK ini antara lain disebabkan pertumbuhan yang tinggi di pasar modal dalam beberapa tahun terakhir yang tercermin pada Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).

(Baca: Meningkat 15%, Aset LPS per Juli 2018 Tembus Rp 100 Triliun)

Aset Nonfinansial Mendominasi

Selain itu, masih banyak masyarakat yang enggan menempatkan dananya di perbankan. Mereka memilih menaruh dananya pada aset-aset non-keuangan, misalnya rumah, tanah, dan lain-lain. Hal ini ditunjukkan dengan rasio total DPK terhadap PDB per kapita Indonesia yang di bawah 40%. Sementara perbankan di negara tetangga lebih unggul dalam pengumpulan DPK, di Filipina rasionya mencapai 79%, Thailand 115%, dan Vietnam 156%.

"Orang Indonesia belum percaya pada sektor keuangan," kata Halim. Untuk menarik minat masyarakat menempatkan dana pada aset-aset finansial, pemerintah harus menawarkan insentif pajak atau insentif lainnya. Regulasi di sektor keuangan dan perbankan juga perlu ditinjau untuk mempromosikan inovasi produk keuangan.

Menanggapi gejolak ekonomi akhir-akhir ini, Halim menilai pemerintah dan Bank Indonesia (BI) telah mengambil langkah-langkah yang tepat. Beberapa kebijakan tersebut adalah kebijakan moneter pre-emptive, penjadwalan ulang proyek-proyek pemerintah, dan kontrol terhadap impor dengan menaikkan PPh impor dan mendorong program B20.

(Baca: LPS: Pertumbuhan Simpanan di Bank Tahun Ini Melambat)