Bank Indonesia (BI) optimistis target pertumbuhan kredit akan tercapai tahun ini. Meski, penyaluran kredit tahun lalu hanya sebesar 8,1% yoy.
"Kami yakin di akhir tahun ini bisa capai target 10-12% yoy," kata Kepala Grup Riset Makroprudensial Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia Retno Ponco Windarti kepada wartawan di Lombok, Sabtu (21/4) lalu.
Ada tiga hal yang mendasari optimisme tersebut. Pertama, perbaikan rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL). "Hampir semua sektor sudah membaik (NPL-nya), kecuali pertambangan," kata dia. Adapun NPL per Februari lalu 2,9% gross dan 1,3% net, naik tipis dibanding bulan sebelumnya 2,86% gross dan 1,23% net.
BI juga melihat aset dan kinerja keuangan korporasi membaik. Harapannya, permintaan pembiayaan oleh korporasi untuk ekspansi bisnis meningkat di tahun ini. "Portfolio korporasi sudah membaik," kata dia.
Kedua, menerapkan Rasio Intermediasi Makroprudensial atau rasio pembiayaan terhadap pendanaan (financing to funding ratio/FFR) per Juli 2018. Perbankan nantinya diwajibkan memberi pembiayaan dengan rasio 80-92% dari total pendanaan yang dimiliki. Tujuannya, untuk mendorong pembiayaan ke sektor riil, tapi di satu sisi kondisi keuangan perbankan tetap terjaga.
Aturan Rasio Intermediasi Makroprudensial ini memungkinkan bank membeli surat berharga seperti obligasi korporasi dan boleh dihitung sebagai pembiayaan yang disalurkan. Saat ini, bank diperbolehkan memegang 100% surat berharga dari total pembiayaan yang disalurkan. Nantinya, setiap enam bulan sekali BI akan mengevaluasi. "Kemungkinan ke depan tak lagi 100%," ujar dia.
(Baca juga: Ekonomi Akan Tumbuh Stagnan 5,5% Bila Sektor Manufaktur Tak Berkembang).
Selain itu, ada juga Penyangga Likuiditas Makroprudensial sebesar 4% dari Dana Pihak Ketiga (DPK) rupiah. Aturan ini hanya berubah nama dari sebelumnya Giro Wajib Minimum Sekunder yakni cadangan minimum yang wajib dipelihara oleh bank berupa surat berharga, seperti Sertifikat BI (SBI) atau Sertifikat Deposito BI (SDBI).
Bila bank tidak memenuhi kedua aturan ini per 16 Juli 2018 nanti, maka akan dikenakan disinsentif. Besarannya, disesuaikan dengan selisih prosentase yang tidak dipenuhi dari Rasio Intermediasi Makroprudensial ataupun PLM. "Kalau lebih dari batas maksimal Rasio Intermediasi Makroprudensial, sepanjang rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) di atas 14%, diperbolehkan," ujar dia.
Untuk bank syariah, kedua aturan ini berlaku per Oktober 2018. Batasan untuk RIM pun sama yakni 80-92% dari total pendanaan dan Rasio Intermediasi Makroprudensial 4% dari DPK.
(Baca juga: Alasan Penting di Balik BI Pertahankan Suku Bunga Acuan 4,25 %).
Faktor ketiga adalah Giro Wajib Minimum rata-rata (averaging) yang diperlonggar dari 1,5% menjadi 2%. Artinya, bank umum konvensional hanya berkewajiban memelihara 4,5% dari total Dana Pihak Ketiga rupiah di BI setiap harinya, sedangkan sisanya 2% dihitung rata-rata per dua minggu. Ketentuan ini berlaku mulai 16 Juli 2018.
Lalu untuk Giro Wajib Minimum valuta asing (valas) bank umum konvensional dan syariah berlaku per Oktober 2018. Besaran rata-rata Giro Wajib Minimumnya pun sama, yakni 2% dari total DPK.