Ketua OJK: Inti Aturan Baru Fintech untuk Lindungi Konsumen

ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso
Penulis: Yura Syahrul
9/3/2018, 18.48 WIB

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan segera menerbitkan peraturan baru terkait layanan keuangan berbasiskan teknologi atau financial technology (fintech). Peraturan ini sudah dinanti oleh para pelaku industri ini dan masyarakat di tengah perkembangan pesat fintech dalam beberapa tahun terakhir.

Menurut Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso, inti dari aturan itu bertujuan melindungi kepentingan konsumen fintech tersebut. Karena itu, OJK akan membuat aturan untuk memastikan industri yang baru berkembang ini lebih transparan. “Semua produk fintech harus transparan,” katanya kepada Katadata.co.id, Kamis (8/3).

OJK ingin mengetahui produk-produk fintech yang akuntabel sehingga tidak akan merugikan masyarakat. Untuk itu, semua pelaku dan produk fintech harus terdaftar di OJK. Pendaftaran itu harus memuat data mengetahui nama produk, pengelolanya, pengurus perusahaan fintech, dan lokasinya.

“Pengurusnya siapa, siapa yang bertanggung jawab, berapa fee-nya, siapa nasabahnya, apa manfaatnya,” kata Wimboh.

Meski begitu, dia menjanjikan peraturan baru itu tidak akan membatasi ruang gerak fintech sehingga mengganggu perkembangannya. “Ini berbeda dengan jasa keuangan (konvensional) yang pengawasannya terhadap perusahaan. Kalau fintech, yang diatur adalah produknya.”

OJK juga sudah memiliki perangkat jika dalam perjalanannya nanti masih ada pelaku fintech yang ‘bandel’ dan diduga merugikan masyarakat. Menurut Wimboh, Satuan Tugas Waspada Investasi --yang sudah berdiri sejak tahun 2007-- akan menindak para pelaku tersebut. Namun, dia tidak menjelaskan bentuk sanksi yang diberikan, apakah termasuk pencabutan usaha para pelaku fintech

Di sisi lain, Wimboh menyatakan, praktik tindak pidana pencucian uang yang diduga dilakukan melalui layanan fintech, bukan merupakan domain pengawasan OJK. “Itu ditangani oleh PPATK (Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan) karena terkait Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU),” ujarnya.  

Sebelumnya, pejabat PPATK menilai fintech rawan disusupi oleh pelaku pencucian uang dan pendanaan terorisme. Sebab, identifikasi layanan fintech bersifat self based identification atau berdasarkan identifikasi sendiri.

Jadi, minimnya pengawasan dan pengenalan nasabah secara mendalam bakal berpotensi dimanfaatkan oleh para pelaku kejahatan, seperti pencucian uang, narkoba, dan terorisme.

Laporan tahunan Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) mencatat, per Desember 2017 terdata sebanyak 235 perusahaan fintech yang bergerak di Indonesia saat ini. Dari empat model fintech: sistem pembayaran (payment), manajemen investasi, peer to peer lending (P2P), hingga crowdfunding atau patungan, sistem pembayaran masih mendominasi dengan porsi 39%.

Namun, jumlah pelaku usaha P2P tumbuh paling pesat dari 15% pada awal 2017 menjadi 32% di akhir tahun lalu. Sedangkan OJK mencatat, hingga awal tahun ini, penyaluran dana melalui P2P lending mencapai Rp 3 triliun.