Fintech Wajib Lapor Data Debitur ke OJK Selambatnya pada 2022

Arief Kamaludin | Katadata
Penulis: Desy Setyowati
Editor: Pingit Aria
5/1/2018, 19.36 WIB

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan mewajibkan perusahaan financial technology (fintech) peer to peer lending untuk melaporkan data debiturnya pada 2022. Saat ini, beberapa lembaga jasa keuangan telah diwajibkan untuk melaporkan data debitur, dalam rangka  penyelenggaraan Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK).

"Kami harapkan nanti itu sekitar 2022 semua wajib (lapor). Peer to peer lending kan baru. Mungkin datanya juga belum terlalu banyak," kata Deputi Komisioner Pengawas Perbankan I  OJK Boedi Armanto dalam diskusi 'Perkembangan Pelaksanaan SLIK' di Gedung Radius Prawiro, Jakarta, Jumat (5/1).

Hanya, ia juga membuka kemungkinan kewajiban pelaporan itu akan dipercepat untuk mitigasi risiko. "Tergantung, kalau tambah banyak yaa kami percepat."

Menurut Boedi, saat ini pun perusahaan peer to peer lending sudah bisa melaporkan debiturnya kepada otoritas. "Sekarang masih sukarela. Kalau mau gabung silahkan," ujar dia.

Kepala Departemen Perizinan dan Informasi Perbankan OJK Ahmad Berlian menambahkan, kendati batas waktu pendaftaran debitur fintech belum ditetapkan, OJK yakin mereka akan tetap bergabung. Sebab SLIK ini bersifat resiprokal.

(Baca juga: Pembiayaan 27 Fintech yang Terdaftar di OJK Capai Rp 2,2 Triliun)

Jika fintech tidak memberikan data mengenai debitur ke OJK, maka dia juga tidak bisa mendapatkan informasi serupa dari otoritas. Menurut Ahmad, informasi itu perlu bagi fintech seperti peer to peer lending, untuk melihat rekam jejak orang yang meminjam atau debitur.

“Katakan fintech mau beri kredit, dia harus tahu dulu profil (debitur). Kalau dia fintech tidak berkontribusi ke SLIK, dia tidak bisa akses data yang ada di sana," kata dia.

Saat ini, lembaga keuangan yang telah diwajibkan melaporkan data debitur adalah bank umum konvensional dan syariah, serta unit usaha syariah (UUS). Kemudiaan yang wajib melapor hingga tenggat waktu 31 Desember 2018 adalah, Bank Perkreditan Rakyat (BPR), Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS), Perusahaan Pembiayaan, dan Perusahaan Pembiayaan Syariah.

Lalu yang jatuh waktunya hingga Desember 2022 adalah perusahaan modal ventura, perusahaan modal ventura syariah, perusahaan pembiayaan infrastruktur, dan lembaga jasa keuangan lainnya.

(Baca: Kolaborasi Fintech dan Bank Diprediksi Meningkat Tahun Depan)

Dengan adanya SLIK, OJK mengklaim kreditur atau orang yang meminjamkan akan memeroleh beberapa manfaat. Diantaranya, mempercepat analisis dan pengambilan keputusan pemberian kredit atau pembiayaan; menurunkan risiko kredit bermasalah; dan efisiensi biaya operasional.

Sementara itu, bagi debitur SLIK juga akan mempercepat waktu persetujuan kredit. Juga akan memperluas akses bagi debitur Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) ataupun sektor informal memperoleh kredit berdasarkan reputasi keuangan. Juga akan mendorong debitur menjaga reputasi keuangannya.

Bahkan, kata Ahmad, masyarakat yang selama ini belum bisa mengakses layanan keuangan juga akan terjangkau. Sebab, OJK melalui SLIK ini juga bekerja sama dengan Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan (LPIP) seperti PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), ataupun Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

(Baca juga: Panasnya Persaingan Uang Elektronik GoJek dan Grab Jelang Tutup Tahun)

Adapun jumlah permintaan informasi debitur di kantor pusat, kantor regional, dan kantor OJK tercatat terus meningkat. Pada 2 Januari permintaannya sudah mencapai 184, lalu naik lagi menjadi 202 di hari berikutnya.

Menurut Ahmad, biasanya debitur meminta riwayat keuangannya karena ditolak saat akan mengajukan kredit. Maka, mereka akan meminta riwayat kredit untuk melakukan pengecekan. Apabila ada ketidaksesuaian data, maka debitur bisa mengklarifikasi data tersebut ke lembaga jasa keuangan yang bersangkutan. "Dia bisa memperbaiki riwayat keuangannya," tutur Ahmad.

Reporter: Desy Setyowati